Mungkin ini bukan sebuah kebiasaan, bahkan ini sebuah keanehan. Ketika saya dengan sang kekasih hati sudah sepakat mau melangkah ke pernikahan, maka semuanya harus bisa dibicarakan dan harus sepakat. Karena saya berada di Jakarta, calon mertua berada jauh di kampung sana, maka percakapan harus dilakukan via telepon.
Biasanya dalam tradisi Orang Batak, jika ada anak yang sudah sepakat dengan calonnya, maka si anak akan melaporkan hubungannya dengan calonnya kepada orangtuanya. Dan pihak calon laki-lakilah yang akan datang ke keluarga calon perempuan untuk berkenalan dan untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut.
Namun ketika itu, saya membuat sebuah langkah cepat. Sepakat dulu dengan calon mertua, baru nanti keluarga akan menjalankan upacara sesuai prosedur, syarat dan ketentuan adat yang berlaku. Maka, saya menelepon calon mertua laki-laki. Sesama lelaki bertelepon.
Saya menjelaskan maksud hati dan ingin meminang anaknya. Bicara jujur apa adanya, keberadaan dan niat, dengan alas kata, jika memungkinkan.
  "Dengan segala hormat dan rendah hati, saya menyampaikan dengan jujur, bahwa saya tidak mempunyai apa-apa untuk diharapkan. Saya memiliki ayah saja, ibu sudah meninggal. Ayah saya sudah pensiun dan saya membiayai sendiri acara perkawinan ini untuk dan atas nama ayahku," demikian kumulai pembicaraan via telepon. Orang tualah yang menikahkan anaknya dalam adat Batak. Walaupun biaya ditanggung anaknya.
  "Oh, bagus, tidak apa-apa," sahut Sang mertua dari seberang.
  "Dan mohon maaf, kalau saya harus terus terang. Saya hanya mampu menyiapkan sekian (jumlah tertentu) sebagai "sinamot" (mas kawin). Jika memang belum memadai, acara ini bisa kita jadwalkan ulang untuk bisa mengumpulkan lebih banyak," sambungku lagi, tanpa tedeng aling-aling. Mungkin kurang sopan.
  "Tidak apa-apa. Jumlah banyak atau sedikit itu relatif. Kebahagiaan bukan ditentukan sinamot yang banyak. Tetapi kesepakatan, kesehatian, kasih sayang dan saling menghargai jauh lebih berharga dari sinamot yang banyak," kata Sang Calon Mertua dengan bijak.
  "Terima kasih pak. Saya sangat merasa terhormat dengan jawaban itu. Dan saya mohon maaf, jika saya yang langsung bicara. Seharusnya keluarga yang mewakili yang datang menghadap bapak," kataku.
  "Tidak apa-apa. Puteri saya sudah menjelaskan dan kami setuju. Silahkan keluarga datang saja. Kita jalani proses sesuai adat kita yang berlaku," kata Sang Calon Mertua.
Akhirnya proses adatnya berjalan dengan baik. Dan pesta adatnya juga berjalan sebagaimana mestinya. Ini sangat berkesan, karena memang bukan sesuatu yang biasa. Namun karena keadaan, dan calon mertua mengerti, proses itu berjalan dengan baik.
Ketika mertua merayakan ulang tahun perkawinan ke 50 atau ulang tahun emas, kami membuat buku kenangan dan perjalanan keluarga mertua selama 50 tahun. Setiap anak, menantu dan cucu diminta menuliskan kesan dan pesan dengan mertua.
Saya mencatatkan dibuku tersebut pengalaman tersebut diatas.
  "Yang paling terkesan dengan ayah mertua, adalah, ketika saya bernegosiasi langsung via telepon tentang sinamot," demikian tulisanku di dalam buku tersebut.
Banyak orang kaget membaca kesan tersebut. Benarkah itu, demikian pertanyaan banyak orang yang membacanya dan menghadiri acara Ulang tahun ke 50 perkawinan mertua itu. Saya mempersilahkan mereka yang bertanya tersebut, langsung ke mertua saya.
Ketika jawabannya terkonfirmasi, mereka kurang percaya, tetapi ujungnya tertawa dan menggelengkan kepala. Negosisasi sinamot via telepon? Boleh tidak percaya, tetapi itu nyata. Memang dalam adat Batak, hal itu bukan hal yang biasa.
Salam hangat
Aldentua Siringoringo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H