Aku tak risau, walau hujan deras dan petir menggelegar
Aku tak galau walau kotaku sudah terendam banjir
Aku dan seisi rumahku tak pernah disinggahi banjir air
Aku dan rumahku bak istana nan kebal banjir
Tapi...
Nyaliku diserbu rasa kecut, lalu takut
Pikiranku dibayangi rasa kalut, lalu takut
Hatiku diselimuti gemerincing rintih, lalu takut
Angan mimpiku dihalangi kabut, lalu takut
Ada apa dengan diriku?
Kenapa nyali, pikiran, hati, dan angan mimpiku takut?
Kenapa jiwaku hampa, nelangsa dan takut?
Kenapa anak, isteri dan ayahku juga ikut nimbrung takut?
Oh, ternyata.....
Aku tak sudi milikku direbut dan diambilalih para pengecut
Aku telah diwarisi ayahku jabatan ini dan kini kupegang kuat
Aku merangkul, merengkuh dan memeluk erat
Aku dan keluargaku, apalagi ayahku dipenuhi rasa khawatir dan takut
Aku akan terpelanting dan terjerembab ke laut diseret para pengecut
Aku bakal tak punya kuasa dan wibawa sebagai pejabat
Aku akan tenggelam di dasar samudera sesat tanpa martabat
Aku bersyukur banjir air tak membuatku menderita
Tapi banjir takut membuatku merana dan ingin meronta
Melawan para kurawa yang ingin kudeta
Oh banjir air ternyata tak sedahsyat banjir takut yang mendera dan menyandera
Oh banjir takut, enyahlah dariku nan rapuh dan menderita
Biarkan aku berpeluk erat dengan kursi singgasana sementara
Aku masih punya mimpi jauh duduk di singgasana istana
Mengulang sejarah dan merengkuh cita ibunda yang terkendala
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H