Anies Baswedan ini cukup fenomenal. Jabatan Gubernur DKI memang sesuatu. Jabatan penting menuju Medan Merdeka Utara. Ada yang berasumsi bahwa siapapun yang ingin menjadi nomor satu di Medan Merdeka Utara alias RI-1, sebaiknya dia nomor satu dulu di Medan Merdeka Selatan atau DKI-1. Medan Merdeka Utara dan Medan Merdeka Selatan hanya dibatasi oleh Monas. Kenapa begitu?
Tentu saja hal ini belajar dari perjalanan Jokowi yang hanya dua tahun di Medan Merdeka Selatan alias DKI-1 sudah bisa menyeberang ke Medan Merdeka Utara. Masuk Merdeka Selatan 2012, tahun 2014 sudah menjadi Penguasa di Medan Merdeka Utara. Apakah Anies Baswedan dari DKI-1 bisa menjadi RI-1, itu adalah sebuah pertanyaan kepada Tuhan. Apakah ada izin dari Allah?
Kenapa harus ada izin dari Allah? Yaelah, kok ditanya seperti itu sih? Kan Anies akhir-akhir ini sering memakai diksi 'izin Allah' ini. Atas izin Allah, banjir satu hari kering, ternyata tidak kering. Atas izin Allah Cipinang Melayu tidak banjir tahun ini, berapa hari kemudian Cipinang Melayu tenggelam dan terendam. Apakah izin Allah tidak keluar, sehingga banjir tak kunjung kering?Â
Kalau kita ilustrasikan banjir itu seperti bangunan, jika pemerintah tidak memberikan izin mendirikan satu bangunan IMB), maka bangunan itu tidak boleh didirikan. Kalau tetap didirikan, bangunan itu dianggap liar dan harus dibongkar.
Kalau Allah tidak memberikan izin banjir Jakarta  kering dalam satu hari atau Cipinang Melayu tidak diizinkan Allah tidak banjir, berarti harus ada yang dibongkar dong. Apanya yang dibongkar? Ya, pernyataan Jakarta kering dalam sehari dan Cipinang Melayu tidak akan banjir tahun ini itu. Atau ditambah lagi dengan genangan enam jam akan hilang.
Apakah mungkin pernyataan atau diksi yang digunakan oleh Anies Baswedan ini boleh dibongkar? Siapa yang membongkarnya? Dan adakah yang keberatan, jika pernyataan itu dibongkar? Wah, ceritanya kok jadi bongkar membongkar ya. Jadi teringat lagu yang ada kata bongkarnya dari Iwan Fals ya.
Nah soal bongkar membongkar pernyataan Anies dengan diksi kata yang digunakannya, kita harus hati-hati. Jika kita mengritik atau mempersoalkan diksi kata yang digunakan Anies, maka kita hrus siap-siap berhadapan dengan pemujanya.
Bagi para pemuja, hukum yang berlaku di +62, "wright or wrong, this is my idol." Tak peduli apa kekurangan idolanya, yang penting idolanya harus menjadi pemimpin dan harus terpilih. Apakah menggunakan politik identitas, politisasi agama, membuat hoaks, demo berjilid-jilid, tidak masalah.
 Segala cara harus ditempuh.  Mau ditiduh penganut Machiaveli dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, tidak penting. Yang penting menang. Dan sah sebagai gubernur. Apakah setelah gubernur bisa mengendalikan banjir sebagai masalah utama di Jakarta? Itu tidak urusan. Nanti bisa dijawab dengan kata-kata, semua urusan selesai.
Itulah arti seorang idola bagi pemujanya. Kalau sang idola kesulitan, jangan ikut menimpuk. Para pemuja bisa tiarap dulu. Nanti ketika ada penghargaan atau hal yang bisa dirayakan, maka kita gas pol untuk membentuk citra baru. Yang penting pemuja ini seperti orang yang sedang kasmaran saja. Falling in Love, Cinta Mallabab (Cinta terjerembab), kata orang Medan. Kalau sudah cinta mallabab, maka tahi gigipun bisa terasa cokelat. Baper. Logika terbalik. Nalar hilang.
Maka ketika banjir tak datang ke Jakarta, tetapi daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat yang banjir, para pemuja memuja dan memuji Anies. Anies pun dengan cerdik menggunakannya dengan diksi Cipinang Melayu tidak banjir tahun ini. Bahkan dia juga meminta warga bicara dengan media. Dia seakan tidak puas memuji diri sendiri di hadapan anak buahnya dari Pemprov DKI Jakarta yang mengawal dan menadampinginya. Tokoh masyarakat Ali Khalid pun dimintanya bicara dan memang memujinya. Mungkin Ali Khalid inilah salah satu pemujanya yang harus diakomodir dan harus dibuat terkenal di depan awak media. Banjir pujian.
Beberapa penghargaan dan tampilnya Anies di forum Internasional dengan menggunakan bahasa Inggeris dikumandangkan para pemujanya terus menerus. Menambah nilai plus. Kesempatan baik untuk menambah volume pijian. Meningkatkan elektabilitas dan citra. Tidak cukup sedikit pujian. Harus berlimpah dan melimpah. Banjir pujian lagi.
Lalu kini keadaan tidak enak dan kurang nyaman. Kalau pemuja melakukan puja dan puji, ini waktu yang tidak pas. Jadi wait and see saja dulu, sambil berharap banjir ini segera berlalu. Karena apapun yang terjadi pasti berlalu. Badaipun pasti berlalu, apalagi banjir. Itu dulu kisah tentang pemuja Anies yang memberikan banjir pujian.
Nah, sekarang kita pindah kepada para pengritik Anies. Nah ini waktunya. Momen yang pas sekarang. Maka lihatlah media kita, termasuk media sosial kita. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa kritik terhadap Anies dengan kisah dongeng banjirnya. Penyusunan kata dengan berbagai gaya seakan banjir ini bisa hanya dikata-katai saja, dihajar habis-habisan. Â Kritik pedas dan sampai menyuruh mundurpun ada. Banjir kritik.
Bayangkan seorang Ketua DPC Partai Gerindra Jakarta Timur yang mendukung Anies menyuruhnya mundur. Ada apa? Kok partai pendukung menyuruh mundur? Tidak cocok lagi atau ada masalah ketidakadilan dari Anies ke partai pendukung? Atau sekedar cari perhatian dan berharap akan dapat proyek sebagai penjinakan? Kita tidak tahu. Banjir kritik.
Gelombang kritik yang lembut dan keras kini beterbangan. Kenapa beterbangan? Berada di dunia maya itu beterbanganlah. Ada juga yang mendarat? Adalah. Ada yang membuat surat dan bahkan ada yang berencana menggugatnya. Banjir kritik.
Ketika ada wacana warga mau menggugatnya, Refly Harun ikut nimbrung. Kalau Anies digugat, sekaligus juga menggugat Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo. Ini ahli hukumya seperti salah kaprah. Warga DKI yang korban banjir mau menggugat Anies sebagai gubernurnya kok disuruh menggugat Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo? Apa urusan warga DKI dengan Jawa Barat dan Jawa Tengah? Kalau mau menghasut, jangan begitu caranya. Agak elegan sedikitlah. Jangan terlalu kelihatanlah belangnya. Bungkus kata-katanya harus mantap. Belajarlah dari Anies dalam hal membungkus dan mengemas kata-kata. Itu seni tersendiri.
Kesempatan para pengritik sekarang ini memang luar biasa. Sulit dicantumkan disini saking banyaknya. Mulai dari Ruhut Sitompul yang mengatakan Anies omong kosong atau omong doang. Dia bilang banjir enam jam akan kering, ternyata lama dan menyuruhnya mengibarkan bendera putih atau menyerah. Mundur saja.
Ferdinand Hutahaean, berulang kali menyampaikan kritik pedas dan menyatakan Anies tidak bisa mengatasi banjir Jakarta.
Plt Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia dan berbagai pihak lain mengatakan Anies tidak mempunyai rencana. Dan gagal. Tidak bisa bekerja dan katanya kita harus sabar dengan kata-kata gombal dari gubernur setahun lagi. Berbagai kalangan masih banyak yang menyampaikan kritiknya terhadap Anies. Banjir kritik lagi.
Anies, sang gubernur DKI Jakarta berada di antara pemuja dan pengritiknya. Banjir pujian dan banjir kritik. Apakah dia akan terendam banjir kritik para pengritiknya? Atau apakah dia akan melayang akibat banjir pujian dari pemujanya? Setiap pejabat publik, seperti Gubernur DKI Jakarta harus siap dengan pujian dari pemuja dan kritik dari pengritik. Banjir pujian dan banjir kritik menjadi ujian tersendiri.
Banjir kritik dan  banjir pujian tidak boleh membuat lengah. Bukan banjir pujian atau banjir kritiknya yang penting. Penyelesaian masalah banjir Jakarta yang penting. Dan bagaimana mengelola para korban banjir dengan menata bantuan kepada korban banjir. Itulah prioritasnya. Jangan bergeser. Semoga.
Salam hangat.
Aldentua Siringoringo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H