Beberapa penghargaan dan tampilnya Anies di forum Internasional dengan menggunakan bahasa Inggeris dikumandangkan para pemujanya terus menerus. Menambah nilai plus. Kesempatan baik untuk menambah volume pijian. Meningkatkan elektabilitas dan citra. Tidak cukup sedikit pujian. Harus berlimpah dan melimpah. Banjir pujian lagi.
Lalu kini keadaan tidak enak dan kurang nyaman. Kalau pemuja melakukan puja dan puji, ini waktu yang tidak pas. Jadi wait and see saja dulu, sambil berharap banjir ini segera berlalu. Karena apapun yang terjadi pasti berlalu. Badaipun pasti berlalu, apalagi banjir. Itu dulu kisah tentang pemuja Anies yang memberikan banjir pujian.
Nah, sekarang kita pindah kepada para pengritik Anies. Nah ini waktunya. Momen yang pas sekarang. Maka lihatlah media kita, termasuk media sosial kita. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa kritik terhadap Anies dengan kisah dongeng banjirnya. Penyusunan kata dengan berbagai gaya seakan banjir ini bisa hanya dikata-katai saja, dihajar habis-habisan. Â Kritik pedas dan sampai menyuruh mundurpun ada. Banjir kritik.
Bayangkan seorang Ketua DPC Partai Gerindra Jakarta Timur yang mendukung Anies menyuruhnya mundur. Ada apa? Kok partai pendukung menyuruh mundur? Tidak cocok lagi atau ada masalah ketidakadilan dari Anies ke partai pendukung? Atau sekedar cari perhatian dan berharap akan dapat proyek sebagai penjinakan? Kita tidak tahu. Banjir kritik.
Gelombang kritik yang lembut dan keras kini beterbangan. Kenapa beterbangan? Berada di dunia maya itu beterbanganlah. Ada juga yang mendarat? Adalah. Ada yang membuat surat dan bahkan ada yang berencana menggugatnya. Banjir kritik.
Ketika ada wacana warga mau menggugatnya, Refly Harun ikut nimbrung. Kalau Anies digugat, sekaligus juga menggugat Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo. Ini ahli hukumya seperti salah kaprah. Warga DKI yang korban banjir mau menggugat Anies sebagai gubernurnya kok disuruh menggugat Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo? Apa urusan warga DKI dengan Jawa Barat dan Jawa Tengah? Kalau mau menghasut, jangan begitu caranya. Agak elegan sedikitlah. Jangan terlalu kelihatanlah belangnya. Bungkus kata-katanya harus mantap. Belajarlah dari Anies dalam hal membungkus dan mengemas kata-kata. Itu seni tersendiri.
Kesempatan para pengritik sekarang ini memang luar biasa. Sulit dicantumkan disini saking banyaknya. Mulai dari Ruhut Sitompul yang mengatakan Anies omong kosong atau omong doang. Dia bilang banjir enam jam akan kering, ternyata lama dan menyuruhnya mengibarkan bendera putih atau menyerah. Mundur saja.
Ferdinand Hutahaean, berulang kali menyampaikan kritik pedas dan menyatakan Anies tidak bisa mengatasi banjir Jakarta.
Plt Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia dan berbagai pihak lain mengatakan Anies tidak mempunyai rencana. Dan gagal. Tidak bisa bekerja dan katanya kita harus sabar dengan kata-kata gombal dari gubernur setahun lagi. Berbagai kalangan masih banyak yang menyampaikan kritiknya terhadap Anies. Banjir kritik lagi.
Anies, sang gubernur DKI Jakarta berada di antara pemuja dan pengritiknya. Banjir pujian dan banjir kritik. Apakah dia akan terendam banjir kritik para pengritiknya? Atau apakah dia akan melayang akibat banjir pujian dari pemujanya? Setiap pejabat publik, seperti Gubernur DKI Jakarta harus siap dengan pujian dari pemuja dan kritik dari pengritik. Banjir pujian dan banjir kritik menjadi ujian tersendiri.
Banjir kritik dan  banjir pujian tidak boleh membuat lengah. Bukan banjir pujian atau banjir kritiknya yang penting. Penyelesaian masalah banjir Jakarta yang penting. Dan bagaimana mengelola para korban banjir dengan menata bantuan kepada korban banjir. Itulah prioritasnya. Jangan bergeser. Semoga.