Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penolak Vaksinasi (Seharusnya) Dapat Dihukum

18 Februari 2021   06:00 Diperbarui: 18 Februari 2021   06:01 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penolak Vaksinasi (Seharusnya) Dapat Dihukum.

Terbitnya Peraturan Presiden no 14 tahun 2021 sebagai perubahan dari Perpres no 99 tahun 2020 di tengah maraknya perkembangan Pandemi Copvid-19 menjadi hangat menyangkut sanksi. Dalam perpres no 14 tahun 2021 ini orang yang sudah ditetapkan menerima vaksinasi COVID-19 namun menolak vaksinasi  bisa dihukum.

Dalam pasal 13A ayat (4) mengatur sebagai berikut.

Sebagai orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin COVID-19 yang tidak mengikuti vaksinasi COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif berupa:

  • penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial;
  • penundaan atau penghentianlayanan administrasi pemerintahan; dan/atau
  • denda

Dalam ayat (5) disebut Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai kewenangannya.

Menurut ketentuan dalam Perpres no 14 tahun 2021 ini penolak vaksinasi dapat dihukum. Pengertian dapat dihukum ini, bisa dihukum, bisa tidak dihukum. Tergantung lembaga yang berwenang sesuai dengan Pasal 13A ayat (5) tersebut. Dan hukumannya adalah sanksi administratif.

Dalam pasal 13B disebut lagi bahwa setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin COVID-19 yang tidak mengikuti vaksinasi COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (2) dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran COVID-19, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (4) dapat dikenakan sanksi sesuai Undang-undang tentang Wabah Penyakit Menular.

Jika kita lihat pengaturan dari Undang Undang Wabah Penyakit Menular yang dikenal UU no 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dalam pasal 14 mengatur  ayat (1) Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,-(satu juta rupiah);

Dalam ayat (2) diatur Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan  wabah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500.000,-(lima ratus ribu rupiah).

Dalam ayat (3) disebut Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.

Apa yang menarik dikaji dari pengaturan Perpres nomor 14 tahun 2021 ini?  Jika ditinjau dari hierarkhi hukum atau tata urutan perundang-undangan kita? Perpres ini seakan mengatur bahwa barang siapa yang menolak vaksinasi padahal orangnya sudah ditetapkan sebagai orang yang menerima vaksin dapat atau bisa dihukum administratif. Sifatnya tentatif atau fakultatif. Tidak harus.

Setelah ketentuan hukuman administratif tersebut dalam pasal 13A, disambung lagi dengan pasal 13B yang menyatakan bahwa selain dikenakan apa yang dimaksud dalam pasal 13A bisa dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-undang tentang Wabah Penyakit Menular.

Perpres 14/2021 ini seakan mengatur bahwa penjatuhan sanksi pidana adminitratif sebagaimana diatur oleh Perpres ini yang berlaku utama dan selain itu bisa dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam UU tentang Wabah Penyakit Menular. Apakah boleh Perpres yang kedudukannya lebih rendah dari Undang-undang boleh mengesampingkan berlakunya sanksi yang diatur dalam Undang-undang? Atau mengutamakan isi Perpres dan membuat isi Undang-undang sebagai alternatif?

Dari segi hierarkhi atau tata urutan perundang-undangan tentu saja kedudukan Undang-undang lebih tinggi dari Peraturan Presiden. Jika isi dari Undang-undang berbeda dengan isi Peraturan Presiden, maka isi Undang-undanglah yang berlaku. Dan itulah yang diutamakan.

Undang-undang no 4 tahun 1984 mengatur sanksi hukum yang dikenakan sebagai penolak vaksinasi atau yang menyebabkan terhalangnya penanggulangan penyebaran penyakit menular seperti COVID-19 sanksi hukumnya jelas. Hukuman penjara selama 1 (satu) tahun atau denda satu juta rupiah. Dan ini menjadi tindak pidana kejahatan.

Perpres no 14 tahun 2021 mengatur orang yang menolak vaksinasi COVID-19 dapat dihukum dengan hukuman administratif. Dapat dihukum. Undang-undang nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular mengatur bahwa orang yang menghalang-halangi penanggulangan Wabah Penyakit Menular dalam hal ini menolak vaksinasi COVID-19 menyatakan sebagai pelaku tindak pidana kejahatan dan harus dihukum penjara selama 1 (satu) tahun. Seharusnya dihukum.

Ketentuan yang mana yang harus diutamakan atau lebih tinggi kedudukannya?  Posisi Undang-undang no 4 tahun 1984 lebih tinggi dari Perpres no 14 tahun 2021. Oleh karena itu penolak vaksinasi dianggap sebagai pelaku tindak pidana kejahatan, seharusnya dihukum penjara selama setahun atau denda setingi-tingginya satu juta rupiah. Dengan demikian ketentuan UU tersebut  bisa mengesampingkan ketentuan Perpres no 14 tahun 2021 tentang hukuman administratif.

Dengan demikian, maka penolak vaksin seharusnya dihukum menurut UU Wabah Penyakit Menular, walaupun Perpres menyatakan penolak vaksinasi dapat dihukum administratif. 

Kenapa harus dihukum? Kalau masyarakat kita diberi pilihan untuk dihukum atau dapat dihukum, maka semua anggap remeh. Kalau sudah ada yang dihukum penjara setahun bagi penolak vaksin, maka kepatuhan untuk mengikuti vaksinasi akan berjalan dengan baik. Harus dibuat contoh untuk efek jera dan akan menimbulkan kesadaran hukum untuk ikut vaksinasi. 

Kita sebagai bangsa perlu cepat keluar dan bisa mengatasi Pandemi Covid-19 ini. Jika hukum kita kompromi dengan penolak vaksinasi, maka vaksinasi akan gagal. 

Dalam hal kedaduratan, maka hukum yang memaksa harus ditegakkan. Jika kedaduratan Pandemi COVID-19 sudah berakhir, maka hukum penjara bisa diganti dengan hukum administratif.

Untuk penanggulangan dan penghentian penyebaran COVID-19 membutuhkan kerjasama dan kesadaran hukum bersama sebagai sebuah bangsa. Vaksinasi bukan proyek coba-coba. Kita harus melakukan vaksinasi kepada 182 juta penduduk Indonesia untuk mencapai kekebalan komunal.

Vaksinasi harus berjalan baik. Yang menolak, silahkan berhadapan dengan hukum. Penjara selama satu tahun. Tidak mau dihukum penjara? Ayo ikut saja vaksinasi COVID-19. Mana lebih takut? Ikut vaksinasi Covid-19 atau takut masuk penjara selama setahun. Silahkan memilih.

Salam hangat.

Aldentua Siringoringo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun