Setelah ketentuan hukuman administratif tersebut dalam pasal 13A, disambung lagi dengan pasal 13B yang menyatakan bahwa selain dikenakan apa yang dimaksud dalam pasal 13A bisa dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-undang tentang Wabah Penyakit Menular.
Perpres 14/2021 ini seakan mengatur bahwa penjatuhan sanksi pidana adminitratif sebagaimana diatur oleh Perpres ini yang berlaku utama dan selain itu bisa dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam UU tentang Wabah Penyakit Menular. Apakah boleh Perpres yang kedudukannya lebih rendah dari Undang-undang boleh mengesampingkan berlakunya sanksi yang diatur dalam Undang-undang? Atau mengutamakan isi Perpres dan membuat isi Undang-undang sebagai alternatif?
Dari segi hierarkhi atau tata urutan perundang-undangan tentu saja kedudukan Undang-undang lebih tinggi dari Peraturan Presiden. Jika isi dari Undang-undang berbeda dengan isi Peraturan Presiden, maka isi Undang-undanglah yang berlaku. Dan itulah yang diutamakan.
Undang-undang no 4 tahun 1984 mengatur sanksi hukum yang dikenakan sebagai penolak vaksinasi atau yang menyebabkan terhalangnya penanggulangan penyebaran penyakit menular seperti COVID-19 sanksi hukumnya jelas. Hukuman penjara selama 1 (satu) tahun atau denda satu juta rupiah. Dan ini menjadi tindak pidana kejahatan.
Perpres no 14 tahun 2021 mengatur orang yang menolak vaksinasi COVID-19 dapat dihukum dengan hukuman administratif. Dapat dihukum. Undang-undang nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular mengatur bahwa orang yang menghalang-halangi penanggulangan Wabah Penyakit Menular dalam hal ini menolak vaksinasi COVID-19 menyatakan sebagai pelaku tindak pidana kejahatan dan harus dihukum penjara selama 1 (satu) tahun. Seharusnya dihukum.
Ketentuan yang mana yang harus diutamakan atau lebih tinggi kedudukannya?  Posisi Undang-undang no 4 tahun 1984 lebih tinggi dari Perpres no 14 tahun 2021. Oleh karena itu penolak vaksinasi dianggap sebagai pelaku tindak pidana kejahatan, seharusnya dihukum penjara selama setahun atau denda setingi-tingginya satu juta rupiah. Dengan demikian ketentuan UU tersebut  bisa mengesampingkan ketentuan Perpres no 14 tahun 2021 tentang hukuman administratif.
Dengan demikian, maka penolak vaksin seharusnya dihukum menurut UU Wabah Penyakit Menular, walaupun Perpres menyatakan penolak vaksinasi dapat dihukum administratif.Â
Kenapa harus dihukum? Kalau masyarakat kita diberi pilihan untuk dihukum atau dapat dihukum, maka semua anggap remeh. Kalau sudah ada yang dihukum penjara setahun bagi penolak vaksin, maka kepatuhan untuk mengikuti vaksinasi akan berjalan dengan baik. Harus dibuat contoh untuk efek jera dan akan menimbulkan kesadaran hukum untuk ikut vaksinasi.Â
Kita sebagai bangsa perlu cepat keluar dan bisa mengatasi Pandemi Covid-19 ini. Jika hukum kita kompromi dengan penolak vaksinasi, maka vaksinasi akan gagal.Â
Dalam hal kedaduratan, maka hukum yang memaksa harus ditegakkan. Jika kedaduratan Pandemi COVID-19 sudah berakhir, maka hukum penjara bisa diganti dengan hukum administratif.
Untuk penanggulangan dan penghentian penyebaran COVID-19 membutuhkan kerjasama dan kesadaran hukum bersama sebagai sebuah bangsa. Vaksinasi bukan proyek coba-coba. Kita harus melakukan vaksinasi kepada 182 juta penduduk Indonesia untuk mencapai kekebalan komunal.