Nah, belum berhenti dengan pemutarbalikan isi pasal 201 UU no 12 tahun 2016 itu, malah dengan pemutarbalikan itu dibumbui lagi dengan pernyataan tuduhan yang bombastis dan menyudutkan. Seolah-olah keputusan menunda itu untuk memungkinkan Presiden Jokowi mempersiapkan keberangkatan Gibran dari Solo ke Jakarta tahun 2024. Karena dirasa terlalu cepat jika Gibran berangkat tahun 2022. Ketika UU no 12 tahun 2016 itu diputuskan Gibran masih jualan. Belum terpilih Walikota Solo. Tak ada hubungan dan salah melihat orang dan waktu. Tuduhan yang ngawur.
Dari pernyataan Wasekjen Partai Demokrat Irwan ini bisa kita kemukakan beberapa hal. Pertama, Partai Demokrat melalui Wasekjennya ini memutarbalikan ketentuan pasal 201 UU no 12 tahun 2016 yang menyatakan bahwa Pilkada Serentak itu dilakukan pada bulan Nopember 2024, bukan 2022. Menuduh Presiden Jokowi menunda ke 2024. Padahal mereka yang ingin mempercepat dari 2024 ke 2022.
Kedua, pernyataan bahwa pemerintah inkonsistensi soal Revisi UU Pemilu adalah kebohongan. Pemerintah tidak pernah ikut dalam kesepakatan untuk mengajukan revisi UU Pemilu tahun 2017. Jadi kalau DPR sepakat tidak melanjutkan pembahasan Revisi UU Pemilu 2017, bukan berarti pemerintah yang inkonsisten. Yang inkonsisten itu DPR. Bohong lagi.
Ketiga, berdasarkan kebohongan dan pemutarbalikan isi pasal 201 UU no 12 tahun 2016 dilemparkan lagi pernyataan curiga terhadap Presiden Jokowi yang akan membawa Gibran ke Jakarta 2024. Ini sangat fatal. Sudah memutarbalikkan fakta dengan kebohongan, menuduh pula. Patut diduga ini sudah merupakan satu tindak pidana fitnah dengan pemutarbalikan fakta dan isi Undang-undang. Pemutarbalikan fakta dan fitnah.
Keempat, setelah riuh soal isu kudeta, sepertinya Partai democrat ingin membuat keriuhan yang baru. Mungkin mereka merasa menaikkan elektabilitas partainya dengan isu kudeta yang menuduh Moeldoko, lalu diterbitkanlah curiga ke Jokowi soal Gibran ke DKI 2024. Nggak ada kreatifnya.
Kelima, isu kudeta dan curiga membawa Gibran ke DKI 2024 sesungguhnya memiliki kemiripan dan kesamaan, menuduh dan mencurigai Jokowi. Hal ini bukan saja tidak etis, cenderung kurang beradab. Presiden Jokowi yang tidak pernah mencampuri Partai Demokrat, kok terus dituduh dan dicurigai. Ada apa? Mau memancing Presiden Jokowi supaya marah dan mencampuri PD? Belum tentu berhasil. Kurang beradab.
Mungkin kalkulasi PD bisa menaikkan elektabilitas, namun harus dikalkulasi dengan baik. Setiap tindakan politik pasti ada untung ruginya. Apakah isu kudeta yang lalu masih ingin diteruskan? Atau isu tersebut sudah habis, lalu perlu ada keriuhan baru?
Mungkin kita menyebut saja, habis isu kudeta, terbitlah curiga kepada Jokowi soal Gibran. Oh PD, hati-hatilah memainkan isu. Jangan sampai senjata makan tuan. Penurunan perolehan suara mulai dari 2009 ke 2014 sampai angka 7,7 % tahun 2019 perlu disiasati dengan baik. Jangan sampai tergelincir tidak bisa mencapai ambang batas parlemen 2024. Perlu mawas diri.
Pintarlah mencari kawan sebanyak-banyaknya. Hindarilah mencari lawan sekuat tenaga. Seribu kawan tidak cukup, satu lawan sudah lebih. Apalagi untuk mencapai ambang batas parlemen perlu berjuta-juta pemilih. Jangan sampai pemilih dan pemuja kita hilang satu persatu ditelan bumi karena sikap partai yang selalu membuat kegaduhan dan menuduh dan mencurigai Presiden Jokowi atau siapapun.
R.A. Kartini dulu membuat istilah,"Habis gelap, terbitlah terang." PD sepertinya membuat, "Habis isu kudeta, terbitlah Curiga ke Jokowi soal Gibran". Berbeda sekali. Kartini optimis. PD, lucu saja, seperti kehilangan akal dan tidak bisa menemukan  isu dan topik yang lebih elegan untuk kebaikan bangsa.
Salam hangat.