"RUU Pemilu Disetop, PD Curiga Jokowi siapkan Gibran Maju Pilgub DKI 2024," demikian judul sebuah berita. (detiknews, Kamis 10 Pebruari 2021
Memang, lama-lama Partai Demokrat ini akan menjadi sebuah partai pelempar isu, curiga dan entah apalagi. Seakan tak ada lagi nalar, logika dan fakta yang benar. Semua diputarbalikkan dan membuat pernyataan yang seakan benar, padahal bohong. Â Mari kita lihat dari pernyataan ini.
  "Ini tentu akan menjadi banyak pertanyaan masyarakat karena inkonsistensi pemerintah dan parlemen hanya memikirkan kepentingan kekuasaan semata sangat susah untuk dibantah," kata Wasekjen Partai Demokrat, Irwan, ketika dihubungi, Rabu, 10-2-2021.(detiknews, 10-2-2-21)
Kenapa menyebut pemerintah inkonsisten? Apakah pemerintah ikut merumuskan hak inisiatif DPR untuk revisi UU Penilu 2017? Kok memakai banyak pertanyaan masyarakat, padahal jelas itu klaim yang salah. Pemerintah bukan pihak yang mengusulkan Revisi UU Pemilu. Pemerintah menolak. Justeru pemerintah konsisten tidak mau merevisi UU Pemilu. Terbalik.
Lebih lanjut pernyataannya yang dikutip detiknews menyatakan bahwa, "Apalagi revisi pemilu ini sejatinya adalah kehendak seluruh fraksi di parlemen ditandai dengan masuknya RUU Pemilu dalam Prolegnas Prioritas 2020. Mengapa sejak Presiden Jokowi statement menolak kemudian dibarengi partai koalisi pemerintah semuanya balik badan," katanya.
Nah ini lagi. Sebagai Prolegnas Prioritas 2020 toh tidak terlaksana. Apakah wajib lagi itu dilakukan 2021? Berapa RUU Prolegnas Prioritas di DPR yang bisa diwujudkan. Sangat menyedihkan. Hampir setiap tahun, produktivitas DPR dalam menyelesaikan Prolegnas itu sangat menyedihkan. Dari 40 RUU Prolegnas Prioritas, terkadang hanya 3-4 RUU Â yang bisa diselesaikan menjadi UU. Kalau Koalisi Pemerintah sepakat dan sejalan dengan pemerintah itu wajar. Jangan seperti era SBY, Koalisi Pemerintah yang menghabisi pemerintah di DPR. Menikam dari belakang. Prihatin.
Apakah semua RUU yang masuk dalam Prolegnas sudah menjadi kesepakatan dan konsisten sampai akhirnya. Perjalanan pembahasan RUU Â DPR RI tidak selalu mulus dan selalu dinamis. Perubahan prioritas di tengah jalan itu adalah hal lumrah dalam perpolitikan Indonesia. Tidak paham dinamika.
Nah yang paling mengenaskan pernyataan berikutnya. "Apakah ada faktor baru yang membuat pemerintah merubah kebijakan politik dengan menundanya ke tahun 2024? Mungkinkah keputusan ini kemungkinan Presiden Jokowi mempersiapkan keberangkatan Gibran dari Solo ke Jakarta? Karena dirasa terlalu cepat jika Gibran berangkat tahun 2022. Pertanyaan ini muncul di masyarakat banyak karena terus terang saja, saya sendiripun sulit untuk menemukan penjelasan lain yang lebih masuk akal," demikian pernyataannya.
Sangat mengenaskan pernyataan ini. Pemutarbalikan fakta atas Undang-undang dan peraturan yang ditetapkan DPR dan pemerintah. Tidak perlu menemukan penjelasan lain. Baca saja pasal 201 ayat (8) dan (9) UU no 12 tahun 2016 yang sangat tegas mengatur bahwa Pilkada Serentak dilakukan pada bulan November 2024. Siapa yang menunda? Pemerintah menunda? Kalau menunda tahun 2024 berarti menjadi tahun berapa? Tahun 2026 atau tahun 2027? Atau tahun 2045 setelah Indonesia berumur 100 tahun? Pemutarbalikan fakta.
Justeru DPR yang ingin mempercepat dari apa yang diatur 2024 menjadi 2022 dan 2023. Itupun salahnya rancu. Yang mau dirubah atau direvisi UU Pemilu 2017, tapi ingin digabungkan UU Pilkada 2016 ke UU Pemilu. Inipun salah kaprah. Memadukan dua rezim yang berbeda. Rezim Pemilu dan rezim Pilkada. Kalau Pilkada 2024 diubah menjadi 2022 bukan menunda, tetapi mempercepat. Siapa yang mau mempercepat? DPR dengan Revisi UU Pemilu itu. Bukan pemerintah. Salah kaprah.
Jadi disini terjadi pemutarbalikan fakta tersebut. Penyebutan menunda ke tahun 2024 memperlihatkan betapa ironisnya seorang anggota DPR tidak tahu atau tidak mau tahu atau pura-pura tidak tahu isi pasal 201 dari UU no 12 tahun 2016 tersebut. Bukan saja tidak tahu, tetapi membalikkan seakan menunda ke tahun 2024. Dalam tulisan sebelumnya kami sudah menegaskan bahwa Pilkada Serentak itu tahun 2024, bukan 2022. Tidak ada yang menunda. Ingin mempercepat, ya ada.
Nah, belum berhenti dengan pemutarbalikan isi pasal 201 UU no 12 tahun 2016 itu, malah dengan pemutarbalikan itu dibumbui lagi dengan pernyataan tuduhan yang bombastis dan menyudutkan. Seolah-olah keputusan menunda itu untuk memungkinkan Presiden Jokowi mempersiapkan keberangkatan Gibran dari Solo ke Jakarta tahun 2024. Karena dirasa terlalu cepat jika Gibran berangkat tahun 2022. Ketika UU no 12 tahun 2016 itu diputuskan Gibran masih jualan. Belum terpilih Walikota Solo. Tak ada hubungan dan salah melihat orang dan waktu. Tuduhan yang ngawur.
Dari pernyataan Wasekjen Partai Demokrat Irwan ini bisa kita kemukakan beberapa hal. Pertama, Partai Demokrat melalui Wasekjennya ini memutarbalikan ketentuan pasal 201 UU no 12 tahun 2016 yang menyatakan bahwa Pilkada Serentak itu dilakukan pada bulan Nopember 2024, bukan 2022. Menuduh Presiden Jokowi menunda ke 2024. Padahal mereka yang ingin mempercepat dari 2024 ke 2022.
Kedua, pernyataan bahwa pemerintah inkonsistensi soal Revisi UU Pemilu adalah kebohongan. Pemerintah tidak pernah ikut dalam kesepakatan untuk mengajukan revisi UU Pemilu tahun 2017. Jadi kalau DPR sepakat tidak melanjutkan pembahasan Revisi UU Pemilu 2017, bukan berarti pemerintah yang inkonsisten. Yang inkonsisten itu DPR. Bohong lagi.
Ketiga, berdasarkan kebohongan dan pemutarbalikan isi pasal 201 UU no 12 tahun 2016 dilemparkan lagi pernyataan curiga terhadap Presiden Jokowi yang akan membawa Gibran ke Jakarta 2024. Ini sangat fatal. Sudah memutarbalikkan fakta dengan kebohongan, menuduh pula. Patut diduga ini sudah merupakan satu tindak pidana fitnah dengan pemutarbalikan fakta dan isi Undang-undang. Pemutarbalikan fakta dan fitnah.
Keempat, setelah riuh soal isu kudeta, sepertinya Partai democrat ingin membuat keriuhan yang baru. Mungkin mereka merasa menaikkan elektabilitas partainya dengan isu kudeta yang menuduh Moeldoko, lalu diterbitkanlah curiga ke Jokowi soal Gibran ke DKI 2024. Nggak ada kreatifnya.
Kelima, isu kudeta dan curiga membawa Gibran ke DKI 2024 sesungguhnya memiliki kemiripan dan kesamaan, menuduh dan mencurigai Jokowi. Hal ini bukan saja tidak etis, cenderung kurang beradab. Presiden Jokowi yang tidak pernah mencampuri Partai Demokrat, kok terus dituduh dan dicurigai. Ada apa? Mau memancing Presiden Jokowi supaya marah dan mencampuri PD? Belum tentu berhasil. Kurang beradab.
Mungkin kalkulasi PD bisa menaikkan elektabilitas, namun harus dikalkulasi dengan baik. Setiap tindakan politik pasti ada untung ruginya. Apakah isu kudeta yang lalu masih ingin diteruskan? Atau isu tersebut sudah habis, lalu perlu ada keriuhan baru?
Mungkin kita menyebut saja, habis isu kudeta, terbitlah curiga kepada Jokowi soal Gibran. Oh PD, hati-hatilah memainkan isu. Jangan sampai senjata makan tuan. Penurunan perolehan suara mulai dari 2009 ke 2014 sampai angka 7,7 % tahun 2019 perlu disiasati dengan baik. Jangan sampai tergelincir tidak bisa mencapai ambang batas parlemen 2024. Perlu mawas diri.
Pintarlah mencari kawan sebanyak-banyaknya. Hindarilah mencari lawan sekuat tenaga. Seribu kawan tidak cukup, satu lawan sudah lebih. Apalagi untuk mencapai ambang batas parlemen perlu berjuta-juta pemilih. Jangan sampai pemilih dan pemuja kita hilang satu persatu ditelan bumi karena sikap partai yang selalu membuat kegaduhan dan menuduh dan mencurigai Presiden Jokowi atau siapapun.
R.A. Kartini dulu membuat istilah,"Habis gelap, terbitlah terang." PD sepertinya membuat, "Habis isu kudeta, terbitlah Curiga ke Jokowi soal Gibran". Berbeda sekali. Kartini optimis. PD, lucu saja, seperti kehilangan akal dan tidak bisa menemukan  isu dan topik yang lebih elegan untuk kebaikan bangsa.
Salam hangat.
Aldentua Siringoringo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H