Kata pepatah, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Itu kata pepatah. Tapi seringkali kata pepatah itu juga nyata. Terjadi dalam kenyataan. Ketika isu kudeta Partai Demokrat terjadi, maka pikiran itu tiba-tiba muncul dalam ingatan. Ingatan tentang penggunaan Skenario Victim atau korban dari SBY.
Ketika pertama kali mencalonkan diri menjadi Capres pada Pilpres 2004 dimana pertama kali dilakukan Pilpres secara langsung, maka berhadapanlah SBY sebagai penantang dengan Megawati sebagai petahana.
Kalkulasi politik dan perkiraan bisa saja mengunggulkan Megawati sebagai petahana dan masih kuat pengaruh eforia PDIP dengan kemenangan yang baik pada Pemilu 1999, pemilu pertama sesudah reformasi dan kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998.
SBY dengan strategi victim Bersama Jk yang sama-sama mundur dari Kabinet Megawati sebagai Menko dan benar-benar menggunakan strategi victim atau korban memenangkan pilpres tersebut. Memang penggabungan strategi militer dan strategi victim telah membuahkan kemenangan itu. Dipadukan lagi dengan jaringan JK di Indonesia Bagian Timur. Mantaplah strategi itu.
Kenapa strategi victim itu berhasil? Orang Indonesia terlalu mudah baperan, terbawa perasaan. Dengan eksploitasi sebagai korban, ternyata sangat ampuh mengambil hati para pemilih Indonesia. Apalagi pemilih Indonesia pada waktu itu didominasi wanita.Â
Jargon sebagai korban, apalagi yang mengorbankan SBY dan JK itu adalah Megawati dan seorang perempuan, maka berhasillah membangun citra korban tersebut. Dan Pilpres 2004 itu dimenangkan penantang terhadap petahana.
Sesudah itulah dibangun Partai Demokrat dan bisa menjadi pemenang Pemilu tahun 2009 dengan segala dugaan kecurangan yang tak pernah dituntaskan. SBY terpilih sebagai presiden lagi dalam Pilpres 2009. Karena sesudah Pemilu tersebut mantan anggota KPU menjadi pengurus partai.Â
Dengan dua periode kepemimpinannya dan kemenangan Partai Demokrat telah membawa SBY dan pengikutnya menjadi penguasa di republik ini. Kekuasaan dan kekuatannya menggurita.
Kehadiran Jokowi pada tahun 2014 yang tidak disangka memenangkan Pilpres membuat posisi Partai Demokrat mengalami penurunan dan Pemilu dimenangkan PDIP. Pada tahun 2019 kembali Jokowi memangkan Pilpres dan Partai Demokrat tetap berada di luar pemerintahan.
AHY yang mundur dari militer dengan pangkat terakhir adalah mayor mencoba peruntungan dengan maju sebagai DKI-1 pada tahun 2017. Namun masih kalah dari Anies Baswedan dalam perhelatan pilgub DKI tersebut. Lalu, semakin terpinggirkanlah posisi dari Partai Demokrat.
Hiruk pikuk UU Cipta Kerja dengan aksi Fraksi Demokrat di DPR dan berbagai polemik dan perbedaan pendapat dalam banyak hal di DPR dan sikap kepada pemerintah, maka posisi Demokrat semakin terpinggir. SBY sebenarnya berharap AHY diikutkan dalam kabinet dengan berbagai manuver strategi komunikasi dan pendekatan kepada Jokowi. Namun usaha dan strategi tersebut belum membuahkan hasil. Kandas. Akhirnya AHY ditempatkan menjadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat.Â
Dalam kondisi seperti itulah isu kudeta ini datang bagaikan halilintar. Apakah Demokrat akan mendapatkan simpati seakan menjadi korban atau victim ini? Apakah penggunaan strategi victim AHY  ini meniru gaya  atau justeru  diajari SBY? Apakah mungkin SBY tidak tahu penggunaan ini? Tidak mungkinlah yao.
Bangkitnya perlawanan dan bantahan dari para senior dan Sebagian pendiri Partai Demokrat yang dituduh bermunculan. Seperti apa yang disampaikan Marzuki Ali di Metro TV pada hari Rabu, 3 Pebruari 2021 bahwa menuduh kader ikut kudeta termasuk dirinya harus dituntaskan.Â
Kalau ada kader yang diduga ikut kudeta bisa dipanggil dengan mekanisme partai. Gaya kepemimpinan Partai janganlah menggunakan fitnah. Fitnah ini harus dihentikan, demikian kata Marzuki Ali.
Yang lebih menarik menurut Marzuki Ali, bahwa apapun yang dilakukan eksternal partai, jika internal partai kuat, maka partai tidak mungkin dikudeta dari luar.
Sepertinya, strategi victim AHY ini akan menjadi bumerang, senjata makan tuan. Para kader, pendiri partai yang merasa terpinggirkan dan sakit hati selama ini seakan diberikan panggung untuk mengevaluasi keberadaan Partai Demokrat sekarang dan kepemimpinan AHY.
Tudingan ketidakpuasan internal partai, dan bahkan kongres yang memilih AHY menjadi Ketua Umum ikut dipersoalkan dan bahkan seakan digugat. Terpilihnya AHY diduga melanggar AD/ART atau terkesan dipaksakan. Marzuki Ali malah mengingatkan bahwa perkembangan isu kudeta ini masih akan dilihat, kemana arah perkembangannya.
Apa yang kita lihat dalam perkembangan politik yang merupakan reaksi terhadap isu kudeta dan melayangnya surat AHY ke presiden seakan menyudutkan Partai Demokrat, khususnya AHY yang dengan gagah dalam konprensi pers.
Reaksi dan akibat dari konprensi pers dan surat tersebut ternyata mengundang konprensi pers reaktif terhadap apa yang dilakukan AHY. Apakah isu kudeta dan surat AHY ke presiden akan melambungkan elektabilitas Partai Demokrat atau akan menenggelamkan.
Apakah posisi AHY akan semakin berkelabat atau pusing penat dengan isu ini? Atau nanti akan mengeluh dan meratapi seperti gaya SBY, mungkin kita akan melihatnya beberapa waktu kemudian. Apa yang disampaikan Marzuki Ali yang Namanya ikut dituding dan dituduk ikut merancang kudeta tersebut, patut diduga akan melakukan perlawanan untuk membersihkan Namanya dari isu kudeta tersebut.
Siapakah nanti yang menjadi korban sungguhan dengan strategi victim ini? Para kader, Moeldoko dan semua pihak yang dituduh melakukan isu kudeta? Atau jangan-jangan AHY yang menjadi korban atau victim dari strategi victimnya sendiri. Biarlah waktu yang menjawab.
Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H