Sang Pencetak Utang.
Sang Kakek baru tiba di rumah anaknya kembali setelah lama tinggal di kampungnya. Sang cucu yang beranjak remaja menyambutnya dengan pelukan hangat di depan pintu bandara.
"Selamat datang kek," kata Sang Cucu sambil memeluk kakeknya.
"Terima kasih cucuku," kata Sang Kakek sambil berjalan menuju mobil yang sudah menunggu.
"Banyak pertanyaan yang tak terjawab, kakek terlalu lama tidak ada. Jawaban pun tak ada," kata Sang Cucu sambil memeluk kakeknya.
"Begitulah kehidupan. Terkadang seperti garam. Kalau garam ada dalam masakan dan takarannya pas, orang kurang menghargainya. Tapi kalau garam tidak ada dan makanan terasa hambar, orang baru mencari dan menghargai garam," kata Sang Kakek.
"Ya juga ya," kata Sang Cucu.
"Makanya setiap insan manusia harus saling menghargai. Hargailah orang selagi ada, jangan mencari dan menghargai setelah tiada," kata Sang Kakek.
"Betul kek. Setujuuu...!" pekik Sang Cucu.
"Apa yang kamu tanyakan?" kata Sang Kakek.
"Ini kek. Ada seorang penting yang menuduh seorang menteri sebagai pencetak hutang. Mereka membeberkan angka hutang sekarang ini. Bagaimana sebenarnya kek?" tanya Sang Cucu.
"Sebetulnya tuduhan itu kurang pas. Sang Pencetak hutang sebenarnya adalah mertua dari sang penuduh itu. Karena pertama kali kita berhutang dan menerima bantuan luar negeri itu adalah ketika mertuanya menjadi presiden. Kalau ibarat buku, itulah hutang cetakan pertama," kata Sang Kakek.
"Begitu ya kek. Lalu kenapa tuduhan ini dialamatkan kepada menteri sekarang?" tanya Sang Cucu.
"Ini tahun politik. Semuanya serba panas. Terkadang terbalik. Yang salah merasa benar. Hoaks dianggap fakta yang benar, padahal akal bulus untuk menjatuhkan lawan politik." kata Sang Kakek.
"Wah gawat dong bangsa ini kalau begitu kek?" tanya Sang Cucu.
"Ya. Kalau hoaks dan saling menuduh dipakai sebagai bagian dari kampanye memang gawat. Makanya para elit ini seharusnya menujukkan kebangsawanan dan kenegarawanan. Mereka harus menjadi negarawan. Jangan hanya politikus. Mereka harus mengutamakan kepentingan bangsa." kata Sang Kakek.
"Apa beda negarawan dengan politikus kek?" tanya cucu.
"Negarawan lebih memikirkan Negara, sudah selesai dengan dirinya, tidak lagi hanya memikirkan dirinya dan kelompoknya. Politikus masih terlalu sarat dengan kepentingan politik dirinya dan golongannya. Kepentingan bangsa menjadi prioritas berikut. Hanya soal skala prioritas." kata Sang Kakek.
"Itu makanya negarawan lebih dihormati ya kek?" tanya Sang Cucu.
"Ya. Dan perbedaan pendapat di antara negarawan dianggap dinamika. Perbedaan di antara politikus bisa saling membunuh karakter dan karir politik. Sama seperti hutang dan bantuan luar negeri. Ayah penuduh sekarang, dulu seorang ekonom berintegritas. Beliau mengkritik pemerintah yang menggunakan hutang dan bantuan luar negeri tidak cermat. Beliau menyebutkan tiga puluh persen hutang dan bantuan luar negeri itu bocor. Dikorupsi. Bayangkan seorang ekonom yang berpikiran negarawan menyampaikan kritik kepada pemerintah yang dipimpin seorang presiden. Dan presiden itu besannya," kata Sang Kakek.
"Lho koq mengkritik besannya?" tanya Sang Cucu.
"Itulah negarawan. Tidak perduli kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya. Yang salah harus diperbaiki. Yang benar harus didukung. Bukan soal besan," kata Sang Kakek.
"Jadi kenapa sekarang penuduh ini menjadi begini. Padahal orang tuanya dulu negarawan?" tanya Sang Cucu.
"Ayah yang hidup dalam zamannya, anak dengan zamannya yang berbeda bisa membuat pola pikir dan karakter yang berbeda. Orang yang berada dalam struktur kekuasaan dengan yang di luar struktur berbeda. Orang yang berambisi menjadi calon penguasa dan bertarung politik dengan orang yang tidak berambisi itu berbeda. Politikus selalu berpikir ingin menang dan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan," kata Sang Kakek.
"Jadi tuduhan Sang Pencetak hutang ini adalah cara politikus untuk menang?" tanya Sang Cucu.
"Bisa jadi. Namun kalau boleh kita cari istilah yang pas. Menteri sekarang bukan Sang pencetak Hutang. Namun Sang Pencetak ulang. Jadi hutang ini dicetak ulang. Atau sang penambah Hutang. Sebab harus dicatat. Warisan hutang masa lalu harus dibayar sekarang. Kalau tidak mampu membayarnya? Harus dipikirkan cara untuk menggerakkan ekonomi supaya bisa membayar hutang masa lalu. Salah satunya menambah hutang. Dan selama dipercaya dunia internasional. Kalau tidak dipercaya mana mungkin ada tambahan hutang baru," kata Sang Kakek.
"Oh begitu ya kek. Keren juga penjelasan kakek ini. Ternyata...politikus ini hebat juga ya. Walaupun hebatnya untuk dirinya dan ambisi politiknya," kata Sang Cucu seperti merintih.
"Makanya politikus harus belajar menjadi negarawan, biar politik menjadi suci dan bersih dari ambisi liar yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya," kata Sang Kakek. Cucu tersenyum dan berlalu.
Terima kasih dan salam.
Aldentua Siringoringo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H