"Itulah negarawan. Tidak perduli kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya. Yang salah harus diperbaiki. Yang benar harus didukung. Bukan soal besan," kata Sang Kakek.
"Jadi kenapa sekarang penuduh ini menjadi begini. Padahal orang tuanya dulu negarawan?" tanya Sang Cucu.
"Ayah yang hidup dalam zamannya, anak dengan zamannya yang berbeda bisa membuat pola pikir dan karakter yang berbeda. Orang yang berada dalam struktur kekuasaan dengan yang di luar struktur berbeda. Orang yang berambisi menjadi calon penguasa dan bertarung politik dengan orang yang tidak berambisi itu berbeda. Politikus selalu berpikir ingin menang dan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan," kata Sang Kakek.
"Jadi tuduhan Sang Pencetak hutang ini adalah cara politikus untuk menang?" tanya Sang Cucu.
"Bisa jadi. Namun kalau boleh kita cari istilah yang pas. Menteri sekarang bukan Sang pencetak Hutang. Namun Sang Pencetak ulang. Jadi hutang ini dicetak ulang. Atau sang penambah Hutang. Sebab harus dicatat. Warisan hutang masa lalu harus dibayar sekarang. Kalau tidak mampu membayarnya? Harus dipikirkan cara untuk menggerakkan ekonomi supaya bisa membayar hutang masa lalu. Salah satunya menambah hutang. Dan selama dipercaya dunia internasional. Kalau tidak dipercaya mana mungkin ada tambahan hutang baru," kata Sang Kakek.
"Oh begitu ya kek. Keren juga penjelasan kakek ini. Ternyata...politikus ini hebat juga ya. Walaupun hebatnya untuk dirinya dan ambisi politiknya," kata Sang Cucu seperti merintih.
"Makanya politikus harus belajar menjadi negarawan, biar politik menjadi suci dan bersih dari ambisi liar yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya," kata Sang Kakek. Cucu tersenyum dan berlalu.
Terima kasih dan salam.
Aldentua Siringoringo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H