"Ini kek. Ada seorang penting yang menuduh seorang menteri sebagai pencetak hutang. Mereka membeberkan angka hutang sekarang ini. Bagaimana sebenarnya kek?" tanya Sang Cucu.
"Sebetulnya tuduhan itu kurang pas. Sang Pencetak hutang sebenarnya adalah mertua dari sang penuduh itu. Karena pertama kali kita berhutang dan menerima bantuan luar negeri itu adalah ketika mertuanya menjadi presiden. Kalau ibarat buku, itulah hutang cetakan pertama," kata Sang Kakek.
"Begitu ya kek. Lalu kenapa tuduhan ini dialamatkan kepada menteri sekarang?" tanya Sang Cucu.
"Ini tahun politik. Semuanya serba panas. Terkadang terbalik. Yang salah merasa benar. Hoaks dianggap fakta yang benar, padahal akal bulus untuk menjatuhkan lawan politik." kata Sang Kakek.
"Wah gawat dong bangsa ini kalau begitu kek?" tanya Sang Cucu.
"Ya. Kalau hoaks dan saling menuduh dipakai sebagai bagian dari kampanye memang gawat. Makanya para elit ini seharusnya menujukkan kebangsawanan dan kenegarawanan. Mereka harus menjadi negarawan. Jangan hanya politikus. Mereka harus mengutamakan kepentingan bangsa." kata Sang Kakek.
"Apa beda negarawan dengan politikus kek?" tanya cucu.
"Negarawan lebih memikirkan Negara, sudah selesai dengan dirinya, tidak lagi hanya memikirkan dirinya dan kelompoknya. Politikus masih terlalu sarat dengan kepentingan politik dirinya dan golongannya. Kepentingan bangsa menjadi prioritas berikut. Hanya soal skala prioritas." kata Sang Kakek.
"Itu makanya negarawan lebih dihormati ya kek?" tanya Sang Cucu.
"Ya. Dan perbedaan pendapat di antara negarawan dianggap dinamika. Perbedaan di antara politikus bisa saling membunuh karakter dan karir politik. Sama seperti hutang dan bantuan luar negeri. Ayah penuduh sekarang, dulu seorang ekonom berintegritas. Beliau mengkritik pemerintah yang menggunakan hutang dan bantuan luar negeri tidak cermat. Beliau menyebutkan tiga puluh persen hutang dan bantuan luar negeri itu bocor. Dikorupsi. Bayangkan seorang ekonom yang berpikiran negarawan menyampaikan kritik kepada pemerintah yang dipimpin seorang presiden. Dan presiden itu besannya," kata Sang Kakek.
"Lho koq mengkritik besannya?" tanya Sang Cucu.