Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sang Gubernur yang Paling Tidak Disukai

6 Juli 2020   05:30 Diperbarui: 6 Juli 2020   05:29 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semangat pagi Indonesia.

Sang Gubernur Yang Paling Tidak Disukai.

Sang Kakek sedang membaca koran ketika Sang Cucu datang mengantarkan kopi tanpa gulanya.

   "Selamat pagi kek, apa kabar pagi ini?" kata Sang Cucu kepada Sang Kakek.

   "Ini ada berita terbaru. Ada hasil survey tentang gubernur yang paling tidak disukai," kata Sang Kakek.

   "Siapa kek?" kata Sang Cucu.

   "Ini gubernur Jakarta," jawab Sang Kakek.

   "Wah, katanya dia gubernur paling populer dan banyak dipuji media asing, kenapa hasil survey menjadi paling tidak disukai?" kata Sang Cucu.

   "Namanya hasil survey. Tidak usah terlalu dipikirkanlah," kata Sang Kakek.

   "Apa tanggapan gubernurnya?" tanya Sang Cucu.

   "Hari ini bisa dipuji, besok nggak, biasalah itu menurut dia," kata Sang Kakek.

   "Tapi lembaga survey ini juga tak ada etika dan sopan santunnya terkadang kek," kata Sang Cucu.

   "Kenapa kamu berpendapat begitu?" tanya Sang Kakek.

   "Apa yang dilakukan kepala daerah atau gubernur dalam penanganan pandemi Covid-19 selalu mereka kaitkan dengan elektabilitas Pilpres 2024. Bagaimana elektabilitas Gubernur Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Itu saja diputar-putar. Apa penanganan Covid-19 hanya untuk elektabilitas calon presiden 2024?" kata Sang Cucu.

   "Namanya juga lembaga survey, kerjanya membuat survey," kata Sang Kakek.

   "Ya. Mereka harus melakukan survey, tapi jangan semua dikaitkan dengan elektabilitas Pilpres 2024. Buat survey kepuasan masyarakat atas penanganan Covid-19. Cukup disitu. Jangan dikaitkan dengan Pilpres 2024," kata Sang Cucu.

   "Kalau tidak dikaitkan dengan pilpres 2024 kurang menarik. Biarpun Pilpres empat tahun lagi, semua kandidat sudah mulai ambil ancang-ancang. Tingkat elektabilitas ini berpengaruh kepada dukungan partai sebagai kendaraan dan para toke calon sponsor juga banyak tergantung hasil survey," jawab Sang Kakek.

   "Tetapi itu tidak baik. Kita sedang bertarung dan berjuang untuk menghadapi Covid-19, tapi selalu dipolitisir dan dikaitkan dengan Pilpres dan Pilkada. Inilah salah satu akibatnya. Gubernur yang ingin populer untuk elektabilitas, kini menjadi gubernur yang paling tidak disukai," kata Sang Cucu.

   "Itu sebuah resiko," kata Sang Kakek.

   "Banyak gubernur ini berbuat dan bertindak seolah mengejar popularitas. Adalah yang mengutamakan kepentingannya dan berbeda dengan walikotanya. Walikotanya marah-marah dan sampai menangis. Semua seperti drama mencari perhatian," kata Sang Cucu.

   "Menjadi pejabat dan gubernur, bupati dan walikota yang baik dan melayani rakyatnya tanpa embel-embel elektabilitas itu jarang. Yang korupsi banyak. OTT lagi. Jadi biarkan saja begitu," kata Sang Kakek.

   "Makanya kita semua, termasuk lembaga survey harus melihat juga siapa gubernur yang baik dan bertanggung jawab serta melakukan segala upaya terbaik untuk melayani rakyatnya," kata Sang Cucu.

   "Jadi dibuat survey gubernur yang paling baik melayani rakyatnya dan rela berkorban tanpa kaitan dengan elektabilitas Pilpres atau Pilkada ya," kata Sang kakek.

   "Betul kek, itulah yang baik. Jangan membangun citra dan keinginan ingin menjadi presiden, tapi pekerjaannya sebagai gubernur tidak dikerjakan dengan baik. Akhirnya hasil survey membuktikan menjadi gubernur yang paling tidak disukai," kata Sang Cucu.

Hasil survey kinerja gubernur, kenapa harus dikaitkan dengan elektabilitas Pilpres? Kenapa tidak kita dorong melalui survey supaya para gubernur ini berlomba mencapai kepuasan masyarakat atas pelayanannya sebagai kepala daerah, bagus kan, gumam Sang Kakek.

Terima kasih dan salam.

Aldentua Siringoringo.

  

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun