Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sang Peserta Didik Baru

29 Juni 2020   22:06 Diperbarui: 29 Juni 2020   22:11 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Semangat Pagi Indonesia.

Sang Peserta Didik Baru.

Sang Kakek dan Sang Cucu sedang duduk-duduk sehabis jalan pagi di teras rumah. Sang Kakek mengambil koran dan membacanya.

   "Apa berita utama di koran itu, kek?" tanya Sang Cucu mengawali percakapan mereka.

   "Ini masih soal kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Ini demo besar-besaran ke Kemendikbud untuk meminta pembatalan PPDB di DKI Jakarta," kata Sang Kakek.

   "Persoalan intinya apa sih kek, kok ribut begini?" kata Sang Cucu.

   "Menurut orang tua yang didukung juga Komnas Perlindungan Anak, bahwa PPDB DKI Jakarta ini bertetangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no 44 tahun 2019. Menurut Peraturan Mendikbud tersebut PPDB didasarkan zonasi, affirmasi, perpindahan tugas orang tua wali dan prestasi," kata Sang Kakek.

   "Terus apa masalahnya kek?" tanya Sang Cucu.

   "Untuk zonasi, alat ukurnya adalah jarak, namun di DKI Jakarta, alat ukurnya dibuat umur atau usia yang lebih tua. Makanya Komnas Perlindungan Anak mengatakan Dinas Pendidikan DKI Jakarta gagal paham," jelas Sang Kakek.

   "Itu makanya diminta mau dibatalkan?" tanya Sang Cucu.

   "Ya. Seharusnya umur bukan prioritas utama, tapi jarak, nilai dan prestasilah," kata Sang Kakek.

   "Dulu kan penilaian untuk penerimaan cukup Nilai Ebtanas Murni (NEM). Yang tertinggi didahulukan, tidak ada ribut seperti ini kek," kata Sang Cucu.

   "Betul. Ini kan sekolah, kok jadi umur menjadi alat ukurnya. Sekolah tergantung nilai dan prestasi. Kalau prestasi dan nilai tidak dihargai sebagai alat ukur penerimaan, nanti siswa tidak termotivasi lagi pintar dan berprestasi," kata Sang Kakek.

   "Menganggur dulu aja siswanya kek, supaya tahun depan diterima karena sudah lebih tua umurnya," sindir Sang Cucu.

   "Itu bukan sekolah namanya, menganggur. Sekalian saja menganggur terus," kata Sang Kakek.

   "Setahun dua tahun menganggur biar terjamin diterima di sekolah. Itu strategi kek," kata Sang Cucu.

   "Selama menganggur mengerjakan apa?" tanya Sang Kakek.

   "Seperti masa pandemi Covid-19 ini kek, belajar di rumah, semuanya dari rumah, persiapan masuk sekolahlah setahun," kata Sang Cucu.

   "Ini masalah serius. Kemendikbud harus turun tangan. Masalah pendidikan dasar kita sampai SMP harus wajib dilakukan dengan usia yang seharusnya. Sekolah seharusnya mengutamakan nilai dan prestasi peserta didik, bukan umur. Kenapa di daerah lain tidak seperti ini, sementara Peraturan Mendikbud nya sama. Masalah ini harus segera diselesaikan dan dituntaskan," kata Sang Kakek.

   "Setuju kek. Patuhi Peraturan Mendikbud dan sesuaikan PPDB DKI dengan aturan tersebut," kata Sang Cucu.

Peraturan Mendikbudnya sama, kenapa DKI Jakarta beda penerapannya? Kenapa umur menjadi faktor utama zonasi, kenapa tidak jarak dan nilai prestasi? Semoga karut marut PPDB DKI ini bisa diperbaiki dan diselesaikan sesegera mungkin, gumam Sang Kakek.

Terima kasih dan salam, 29-06-20.

Aldentua Siringoringo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun