"Dulu kan penilaian untuk penerimaan cukup Nilai Ebtanas Murni (NEM). Yang tertinggi didahulukan, tidak ada ribut seperti ini kek," kata Sang Cucu.
  "Betul. Ini kan sekolah, kok jadi umur menjadi alat ukurnya. Sekolah tergantung nilai dan prestasi. Kalau prestasi dan nilai tidak dihargai sebagai alat ukur penerimaan, nanti siswa tidak termotivasi lagi pintar dan berprestasi," kata Sang Kakek.
  "Menganggur dulu aja siswanya kek, supaya tahun depan diterima karena sudah lebih tua umurnya," sindir Sang Cucu.
  "Itu bukan sekolah namanya, menganggur. Sekalian saja menganggur terus," kata Sang Kakek.
  "Setahun dua tahun menganggur biar terjamin diterima di sekolah. Itu strategi kek," kata Sang Cucu.
  "Selama menganggur mengerjakan apa?" tanya Sang Kakek.
  "Seperti masa pandemi Covid-19 ini kek, belajar di rumah, semuanya dari rumah, persiapan masuk sekolahlah setahun," kata Sang Cucu.
  "Ini masalah serius. Kemendikbud harus turun tangan. Masalah pendidikan dasar kita sampai SMP harus wajib dilakukan dengan usia yang seharusnya. Sekolah seharusnya mengutamakan nilai dan prestasi peserta didik, bukan umur. Kenapa di daerah lain tidak seperti ini, sementara Peraturan Mendikbud nya sama. Masalah ini harus segera diselesaikan dan dituntaskan," kata Sang Kakek.
  "Setuju kek. Patuhi Peraturan Mendikbud dan sesuaikan PPDB DKI dengan aturan tersebut," kata Sang Cucu.
Peraturan Mendikbudnya sama, kenapa DKI Jakarta beda penerapannya? Kenapa umur menjadi faktor utama zonasi, kenapa tidak jarak dan nilai prestasi? Semoga karut marut PPDB DKI ini bisa diperbaiki dan diselesaikan sesegera mungkin, gumam Sang Kakek.
Terima kasih dan salam, 29-06-20.