Sang Corona (Car) Free Day (CFD).
Sang Cucu datang membawa kopi kakeknya sambil senyum-senyum dikulum. Sang Kakek sedang membaca berita koran.
  "Kek, ini ada istilah baru," kata Sang Cucu memulai pembicaraan dengan Sang Kakek.
  "Apa itu?" tanya Sang Kakek.
  "CFD itu adalah singkatan dari Car Free Day, sekarang diplesetkan menjadi Corona Free Day," kata Sang Cucu.
  "Kenapa Car Free Day menjadi Corona Free Day?" tanya Sang Kakek.
  "Dalam acara Car Free Day kemarin Minggu 21 Juni 2020, masyarakat berjubel ramai-ramai. Ada yang naik sepeda dan pejalan kaki. Tidak menjaga jarak sebagaimana protokol kesehatan Covid-19. Makanya diduga acara dengan kepadatan orang tersebut corona merajalela disana, maka disebut jadi Corona Free Day," jelas Sang Cucu.
  "Kenapa CFD dibuka?" kata Sang Kakek.
  "Kan Jakarta sekarang PSBB transisi. Setelah tiga bulan ditiadakan, maka dalam masa transisi ini CFD mulai dibuka. Ternyata pesertanya membludak. Mungkin sudah terlalu lama di rumah saja kek," kata Sang Cucu.
  "Apakah tidak ada pejabat yang mengawasi ketat acara CFD tersebut?" kata Sang Kakek.
  "Mungkin mereka kecolongan, tidak menyangka pesertanya membludak. Katanya sih akan dievaluasi nanti. Itu menurut Wakil Gubernur," jelas Sang Cucu.
  "Ini selalu klasik alasannya. Nanti akan dievaluasi. Bukan hanya evaluasi, tapi perlu antisipasi. Kelemahan pemerintah provinsi ini selalu pandai berkata-kata dan berwacana. Sebelum memberlakukan seharusnya ada rapat persiapan dan perencanaan CFD tersebut. Siapa yang mengawasi dan bagaimana mengatur orang yang hadir di acara CFD tersebut. Setelah kejadian, baru dievaluasi. Bagaimana kalau sudah ada yang terpapar atau berpindah virus coronanya pada acara CFD tersebut? Ada data peserta CFD itu?" kata Sang Kakek seakan menggugat.
  "Kan sudah dibilang, nanti mau dievaluasi," kata Sang Cucu.
  "Dulu juga dilakukan pembatasan angkutan Trans Jakarta, akhirnya orang membludak dan tidak bisa menjaga jarak, akibatnya Jakarta tinggi penyebaran virus coronanya. Seharusnya sudah belajar dari kesalahan pembatasan angkutan kemarin. Harus ada pengawasan dan penjagaan ketat. Masyarakat kita ini kalau tidak diawasi ketat, bisa mereka melakukan kebebasannya, namun tidak menjaga bahwa kebebasan yang dilakukannya sudah mengganggu kebebasan orang lain. Apalagi ini masih PSBB," kata Sang Kakek.
  "Tapi kan masa transisi kek, jadi agak longgar sedikitlah," kata Sang Cucu.
  "Masa transisi, tapi tetap masih PSBB. Ketentuan PSBB masih berlaku. Makanya pengawasan ketat harus dilakukan. Apalagi baru pertama kali dibuka. Perlu sosialisasi dan pengawasan. Masyarakat kita ini masih harus diedukasi dan diawasi. Lihat kesadaran berlalu lintas. Kalau ada polisi, orang patuh kepada aturan lalu lintas. Tidak ada polisi, aturan dilanggar. Masih seperti itu mental masyarakat kita," kata Sang Kakek.
  "Makanya polisi suka mengintip dan menagkap ya kek?" kata Sang Cucu.
  "Betul. Makanya harus diperbaiki sikap pemerintah provinsi  yang memberlakukan CFD itu. Setelah salah, jawabnya, nanti akan dievaluasi.  Masa salah melulu," kata Sang Kakek.
  "Namanya manusia bisa salah kek, itu manusiawi," kata Sang Cucu seakan membela pemprov.
  "Pernah dengar  perumpamaan, bahwa hanya keledai yang jatuh dua kali dalam lobang yang sama. Padahal sekarang keledaipun  tidak mau lagi jatuh ke lobang yang sama. Ini kita manusia kok jadi mau jatuh dua kali dalam lobang yang sama," kata Sang Kakek.
  "Sekali-sekali ganti posisi tidak apa-apa kek. Manusia jadi keledai dan keledai menjadi manusia. Mungkin awalnya keledai belajar dari manusia supaya jangan jatuh dua kali ke lobang yang sama. Sekarang manusia yang belajar kepada keledai untuk jatuh dua kali ke dalam lobang yang sama. Gitu aja kok repot sih kek?" kata Sang Cucu.
  "Benar juga ya. Bisa saja saling belajar antara keledai dan manusia ya. Bagus juga teorimu kawan," kata Sang Kakek sambil menepuk bahu Sang Cucu.
Kesalahan berulang, kurang antisipasi dan persiapan. Setelah salah, nanti dievaluasi. Salah lagi, jatuh lagi ke lobang yang sama, padahal keledaipun tak mau lagi jatuh dua kali ke lobang yang sama. Manusia kok jatuh lagi, jatuh lagi, gumam Sang Kakek.
Terima kasih dan salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H