Dalam tulisan "Memetik Nilai Kehidupan dari Sang Tunanetra, Kompasiana, 29 Mei 2020, kami menceritakan bagaimana kami tinggal bersama (live in) di sebuah Panti Karya. Kejadian itu pada tahun 1983. Lama sekali setelah itu kami tidak pernah lagi ke tempat tersebut.
Pada tahun 2009, ada kegiatan di kampung halaman dan membutuhkan waktu yang agak lama. Para anak muda di kampung ingin melakukan kunjungan kasih ke panti karya tersebut. Sebagai mantan pengurus, kami diajak para anak muda ini. Kami sepakat saya ikut rombongan anak muda ini.
Setibanya disana, kami disambut pimpinan panti karya tersebut. Sudah banyak perkembangan panti ini setelah 26 tahun. Perluasan wilayah pertanian dan berbagai ketrampilan baru dilakukan.
Kami memasuki acara formal dan ramah tamah. Pada acara memberikan sambutan, setelah panitia dan para anak muda tersebut selesai, mereka meminta saya menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai penasehat dan mewakili perantau.
Saya memulai ucapan dan sapaan awal dan mengucapkan terima kasih ke pimpinan panti dan para anak muda yang menjadi rombongan kami, yah, basa-basi pidato pembukaanlah ceritanya. Belum sempat memperkenalkan diri, tiba-tiba seorang dari penghuni panti karya itu seorang bapak berdiri dan tunjuk tangan.
Saya kaget, lalu bertanya, "ada apa amang?" tanyaku.
  "Apakah yang bicara ini bapak Siringoringo yang dulu pernah datang ke sini waktu mahasiswa?" tanyanya. Jujur, saya mau pingsan mendengarnya. Bagaikan suara halilintar. Dia masih ingat suaraku? Semua yang ada di ruangan terheran-heran. Spontan saya turun dari altar dan menemui bapak itu.
  "Ya amang, saya Siringoringo yang dulu pernah ke sini, masih ingat suaraku?" kataku sambil menyalamnya.
  "Masih, dan tak akan pernah lupa," jawabnya seenaknya. Perasaanku campur aduk, salut, hormat, tetapi saya harus menyelesaikan sambutan. Lalu saya pamit, "saya selesaikan dulu sambutan saya, nanti kita bicara lagi ya amang," pintaku.
  "Baik," katanya lalu dia duduk.
Saya kembali ke altar dan melanjutkan sambutan, namun konsentrasi saya hilang. Kuselesaikan secepatnya dan saya kembali duduk ke tempat saya semula. Pikiran saya menerawang ke kunjungan kami 26 tahun yang lalu ke tempat ini.
Ketika acara makan siang, saya meminta izin kepada ketua rombongan dan pimpinan panti, agar saya bisa duduk satu meja dengan bapak itu. Karena ada aturan panti, tempat duduk para penghuni dan tamu dibedakan. Setelah mendapat izin, saya duduk disampingnya.
Kami bercerita dan saya bertanya kepada beliau.
  "Kenapa bapak masih ingat suaraku sudah dua puluh enam tahun yang lalu?" tanyaku masih penasaran.
  "Kami pak disini, sekali saja dengar suara orang, bisa kami ingat lama. Bapak dulu tinggal disini seminggu. Pagi dan malam kita sama-sama mengikuti saat teduh. Siangnya kita jalan keliling ke ladang areal pertanian dan peternakan," kata beliau.
  "Begitu ya," sahutku.
  "Dulu ketika rombongan bapak kesini, saya baru dua tahun masuk disini dan masih lajang. Saya kan menjadi pemandu rombongan bapak waktu itu. Dan tahu bapak, apa yang membuat saya ingat sekali dan tidak lupa?" tanyanya kepadaku.
  "Tidak pak," jawabku polos.
  "Ketika perpisahan rombongan bapak dulu, bapak selaku kepala rombongan memberikan hadiah kepada saya sebuah kaus. Kaus itu kupakai dan kurawat sampai lima belas tahun lamanya. Itu hadiah pertama dari pengunjung ke saya pada waktu itu," katanya seakan mengingatkan memoriku lagi.
  "Betul, sudah kuingat sekarang," jawabku menimpalinya.
Wow, luar biasa. Ternyata sebuah kaus untuk mereka bisa diingat dan dipakai selama lima belas tahun? Aku merenung. Terkadang kita banyak mendapat berkat, lupa bersyukur.
  "Sekarang saya sudah berkeluarga. Kami tinggal dalam satu rumah di areal pertanian. Kami sudah mandiri," katanya.
  "Berapa anaknya pak?" tanyaku.
  "Tiga, dua laki-laki dan satu perempuan," jawabnya.
  "Sudah sekolah?" tanyaku.
  "Yang paling besar sudah SMP. Dua lagi masih SD," katanya.
Kami masih lama berbincang-bincang sampai rombongan mau pulang. Saya sangat terharu dengan pertemuan itu. Dua puluh enam tahun Sang Tunanetra ini mengingat suaraku? Padahal kita bisa lupa peristiwa setahun dua tahun yang lalu.
Itulah mungkin karunia Tuhan yang sulit dimengerti. Ketika mereka kurang bisa melihat dengan mata mereka, Tuhan memberikan kelebihan berupa pendengaran dan daya ingat yang lebih tajam.
Ketika mau pulang, saya memberikan hadiah untuk beliau agar membeli pakaian untuk beliau dan anak isterinya. Hadiah kenangan untuk daya ingat 26 tahun. Pemberian sebuah kaus kenang-kenangan 26 tahun yang lalu membuat ingatannya kuat terhadap suara saya? Beliau telah mengajarkan saya untuk tidak melupakan yang baik, bersyukur, tanpa melihat sebesar apapun hadiah dan kebaikan itu.
Walau hanya selembar kaus sekalipun. Ternyata, secercah kebaikan bisa menjadi pengingat untuk jangka waktu yang lama, 26 tahun. Luar biasa. Thanks Lord.
Salam rindu dan hormat untuk seluruh Pimpinan, pengelola dan penghuni  Panti Karya Hepatha, Laguboti, Tobasa, Sumut.
Terima kasih, salam dan doa.
Aldentua Siringoringo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H