Sang kakek dan cucu kedatangan tamu lagi. Seorang janda yang bertetangga komplek perumahan mereka namun masih dalam satu komunitas satu kampung. Alasannya mau mendiskusikan anaknya yang mau kuliah dan bingung memilih jurusannya, serta mau mencari peluang beasiswa karena setelah kematian suaminya, ekonomi mereka agak memburuk. Sang kakek sabar menjelaskan segala pertanyaan si ibu tadi. Lalu berlanjutlah ke diskusi soal kenaikan iuran BPJS.
"Saya juga tidak setuju kenaikan iuran BPJS ini kek. Menyusahkan rakyat. Jangankan bayar iuran, makan saja susah," kata ibu tadi.
"Ibu masuk kelas yang mana?" kata cucu ikut nimbrung tiba-tiba.
"Saya kelas dua, naik menjadi seratus ribu sebulan," jawabnya.
"Kalau keberatan dengan membayar sebesar itu, ibu turun saja ke kelas tiga, bayarnya kan cuma 25 ribu. Kan disubsidi pemerintah kalau kelas tiga. Dua tahun lagi naik menjadi tiga puluh lima ribu. Ringan kan?" kata cucu.
"Enak aja kau ngomong turun ke kelas tiga. Gengsi dong. Sudah terbiasa kelas dua, kamu suruh turun ke kelas tiga," kata ibu itu ketus.
"Lho, kan ibu keberatan membayar iuran kelas dua, supaya tetap bisa dibiayai BPJS ya turun kelas tapi terjangkau, kan tidak apa. Apa hubungannya dengan gengsi bu?" tanya cucu.
"Tinggal kelas aja sudah tidak enak, apalagi turun kelas lagi. Apa kata dunia? Hancurlah harga diri kita nak," kata ibu itu.
"Gengsi dan harga diri itu apa sih bu? Bisa dibeli dimana itu? Berapa sekilo? Adakah itu di pasar? Biar saya beli dulu," sindir cucu.
"Eh, kamu anak kecil jangan menghina ya, biarpun saya janda dan miskin, saya punya gengsi dan harga diri," kata ibu itu.
"Aduh ibu, yang kita bicarakan iuran BPJS kok ibu pindah topik ke gengsi dan harga diri, itu nggak ada hubungannya bu," kata cucu.
"Lho, kamu tadi yang ngomong turun kelas. Itu menyangkut gengsi dan harga diri, tahu?" kata ibu lagi lebih ketus.
"Ok kalau begitu, saya balik bertanya. Apakah dengan gengsi dan harga diri itu ibu bisa membayar sendiri biaya berobat ibu tanpa BPJS?" tanya cucu
"Ya nggaklah. Kalau tidak BPJS ya bayar pakai uang sendirilah," jawab ibu itu.
"Sekarang iuran naik, ibu tidak sanggup bayar kelas dua. Disuruh turun ke kelas tiga, ada gengsi dan harga diri yang terganggu. Ibu maunya apa sih?" tanya cucu dengan mimik seirus.
"Maunya iuran gratis, tapi setiap kita sakit ya dibayarin BPJS," jawab ibu itu.
"Oh begitu bu. Itu juga bisa bu di BPJS. Ibu pergi ke kantor kelurahan, ibu urus surat keterangan miskin, maka ibu akan diikutkan di BPJS sebagai kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI)," kata cucu.
"Wah, ini lebih kurang ajar lagi omonganmu nak. Turun ke kelas tiga saja, aku ogah, kok malah kau suruh menjadi PBI alias gratis. Makin hancurlah gengsi dan harga diriku. Apa nanti kata orang kelurahan kepada saya dan keluarga," kata ibu itu seakan sedih.
"Maaf bu, tadi ibu mengatakan ingin iuran gratis, tapi kalau sakit dibayarin BPJS. Ya itu ada prosedurnya. Jadi sebenarnya bu, BPJS ini sangat berguna bagi lapisan masyarakat bawah. Ada 90,3 juta peserta PBI di BPJS. Dengan peraturan baru Perpres tahun 2020 ini, jumlah yang disubsidi meningkat menjadi hampir 130 juta. Bayangkan bu, setengah penduduk Indonesia disubsidi pemerintah melalui BPJS, " kata cucu.
"Ah itu kan kamu yang bilang, buktinya banyak ahli dan tokoh politik mengecam kenaikan iuran BPJS ini," kata ibu.
"Ibu mendengar kata orang atau apa yang ibu rasakan sebagai peserta BPJS. Waktu suami ibu sakit, sudah dibayarin BPJS kan?" tanya cucu.
"Ya sih," kata ibu itu seperti malu.
"Berapa bulan opname suami ibu sebelum meninggal?" tanya cucu.
"Tiga bulan," jawab ibu itu.
"Kalau bayar sendiri, bisa berapa perkiraan biayanya bu?" kejar cucu lagi.
"Sekitar lima puluh juta," jawab ibu itu.
"Nah sekarang ibu pikirkan baik-baik. Ibu mau percaya kata para tokoh yang ribut soal kenaikan iuran BPJS atau lebih percaya kepada pengalaman ibu ketika suami sakit sampai meninggal yang dibiayai BPJS?" kata cucu.
"Ah, kamu sih menyudutkan saya," kata ibu itu.
"Bu, saya tidak menyudutkan. Saya bicara apa yang nyata ibu alami. Pengalaman ibu yang baik tentang BPJS jangan rusak karena mendengar apa kata tokoh dan para ahli itu. Mereka belum tentu peserta BPJS. Mereka mungkin memiliki asuransi kesehatan dengan perusahaan asing. Jadi uang asuransi mereka disetor ke negara asing itu. Itulah antek asing yang asli. Asuransi kesehatannya pun harus membayar ke perusahaan asing. BPJS diributin," kata cucu.
"Tapi kan mereka memperjuangkan nasib rakyat kecil," kata si ibu.
"Bukan memperjuangkan, tapi menggunakan rakyat kecil sebagai tameng menghantam pemerintah. Coba kita bicara jujur, kalau ibu sebagai rakyat kecil, apapun pilihan ibu, mau kelas tiga, pelayanannya sama dengan kelas satu dan dua. Mau PBI, semua gratis. Dan 90,3 juta PBI. Padahal catatan orang miskin kita hanya 10 persen sekitar 26 juta, namun PBI ada 90,3 juta berarti sekitar 43 persen," kata cucu.
"Kenapa bisa berbeda begitu?" tanya si Ibu.
"Karena mau iuran gratis, banyak orang mengaku menjadi orang miskin. Tidak malu dengan gengsi dan harga diri. Ibu ini kebalikannya. Tapi ibu baguslah masih mempunyai harga diri dan gengsi. Kalau begitu, ibu tetap saja di kelas dua dan bayar iurannya ya, " kata cucu setengah menyindir.
"Ah pusing ah diskusi sama kamu anak kecil. Kepintaran kamu. Perasaan Direksi BPJS aja kamu," kata ibu itu menggerutu.
"Saya bukan direksi BPJS bu. Saya hanya rakyat yang menghargai pemerintahnya yang memikirkan kepentingan kesehatan masyarakatnya melalui BPJS. Bukan yang meributi. Kita harus dukung program kesehatan nasional ini dengan gotong royong. Yang sehat mendukung yang sakit. Inikan seperti arisan bu. Satu untuk semua dan semua untuk satu. Dan kalau mampu membayar, bayarlah. Apalagi kalau kita bisa membayar iuran BPJS tanpa menggunakannya. Kita sehat terus. Biarlah yang sakit saja yang menikmati. Jangan pula ada yang pusing saja sedikit, berobat hah, mumpung lagi gratis. Jangan begitu ya bu," kata cucu.
"Kamu menyebalkan deh, anak kecil nasehati orang tua. Itu kualat, tahu," kata ibu itu.
"Maaf bu, bukan untuk menasehati. Saya hanya menjelaskan apa arti tanggung jawab kita sebagai warga negara yang harus mendukung program BPJS. Nggak usah lihat pemerintahnya. Lihat program BPJSnya. Kalau ada baiknya dan bermanfaat, ikut jadi pesertanya, bayar iurannya, gitu aja kok repot-repot sih," kata cucu meniru gaya alm Gus Dur.
"Pusing. Pulang dulu ah. Ceramahmu tak ada habisnya," kata ibu itu seakan kesal dan pergi berlalu. Dia merasa kena batunya.
Setelah ibu itu pergi, cucu berucap.
"Susah ya kek, peserta yang satu ini. Sudah menikmati manfaat BPJS, tapi yang didengar para komentator BPJS. Seharusnya mereka yang sudah menerima manfaat berterima kasih ke negara yang sudah memikirkan kesehatan warganya secara nasional. Kenapa nggak disuruh saja para komentator itu membayar biaya rumah sakit ibu itu jika sakit, jangan minta ke BPJS ya," kata cucu.
"Itulah sulitnya mengelola negara dengan penduduk besar tapi pola pikirnya ngawur," kata kakek.
"Sudah miskin, jelek, tak pernah masuk TV, turun kelas gengsi, maunya gratis. Mau PBI, dibayarin klaimnya, diminta mengurus surat miskin merusak harga diri. Pusing ah mikirin peserta BPJS yang sok gengsi seperti ini," kata cucu.
"Sudahlah, biarkan sajalah seperti itu. Dia mau ikut, silahkan, tidak mau bayar, silahkan, terserah mereka saja memilih," kata kakek.
Oh betapa susahnya rakyatku ini, diurus negara mengeluh, dulu nggak diurus negara, tanggung sendiri biaya kesehatannya tak masalah, diurusin, eh masalah. Mau gratis, disuruh buat surat miskin, gengsi, weleh, weleh, batin kakek dalam hati. Sekian dulu.
Terima kasih. Salam dan doa.
Aldentua Siringoringo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H