"Berapa bulan opname suami ibu sebelum meninggal?" tanya cucu.
"Tiga bulan," jawab ibu itu.
"Kalau bayar sendiri, bisa berapa perkiraan biayanya bu?" kejar cucu lagi.
"Sekitar lima puluh juta," jawab ibu itu.
"Nah sekarang ibu pikirkan baik-baik. Ibu mau percaya kata para tokoh yang ribut soal kenaikan iuran BPJS atau lebih percaya kepada pengalaman ibu ketika suami sakit sampai meninggal yang dibiayai BPJS?" kata cucu.
"Ah, kamu sih menyudutkan saya," kata ibu itu.
"Bu, saya tidak menyudutkan. Saya bicara apa yang nyata ibu alami. Pengalaman ibu yang baik tentang BPJS jangan rusak karena mendengar apa kata tokoh dan para ahli itu. Mereka belum tentu peserta BPJS. Mereka mungkin memiliki asuransi kesehatan dengan perusahaan asing. Jadi uang asuransi mereka disetor ke negara asing itu. Itulah antek asing yang asli. Asuransi kesehatannya pun harus membayar ke perusahaan asing. BPJS diributin," kata cucu.
"Tapi kan mereka memperjuangkan nasib rakyat kecil," kata si ibu.
"Bukan memperjuangkan, tapi menggunakan rakyat kecil sebagai tameng menghantam pemerintah. Coba kita bicara jujur, kalau ibu sebagai rakyat kecil, apapun pilihan ibu, mau kelas tiga, pelayanannya sama dengan kelas satu dan dua. Mau PBI, semua gratis. Dan 90,3 juta PBI. Padahal catatan orang miskin kita hanya 10 persen sekitar 26 juta, namun PBI ada 90,3 juta berarti sekitar 43 persen," kata cucu.
"Kenapa bisa berbeda begitu?" tanya si Ibu.
"Karena mau iuran gratis, banyak orang mengaku menjadi orang miskin. Tidak malu dengan gengsi dan harga diri. Ibu ini kebalikannya. Tapi ibu baguslah masih mempunyai harga diri dan gengsi. Kalau begitu, ibu tetap saja di kelas dua dan bayar iurannya ya, " kata cucu setengah menyindir.