"Kalau kritik konstruktif, artinya pemikir itu menyampaikan kritik kepada pemerintah, namun kritiknya membangun. Ada sesuatu dalam kritik itu yang bisa dipetik untuk memperbaiki keadaan yang dikritik. Misalnya tentang BPJS, apa kritik untuk memperbaiki. Kalau destruktif, ini kritik yang merusak. Yang penting semua salah. Pemerintahnya brengsek saja. Walaupun ada yang baik dari yang dikerjakan pemerintah, dinilainya semua tidak baik. Padahal diapun tidak ada yang dikerjakannya, kecuali kritik destruktif itu," kata cucu menjelaskan seakan ceramah ke kakeknya.
  "Woi, keren ya cucu bicara soal masa depan," puji kakek.
  "Saya khawatir nanti kisah di kampung yang saya ceritakan tadi terulang dan terjadi kepada orang-orang ini.  Bagaimana caranya ya mengingatkan Pasukan PBB (Pemikir Bungkuk  Bengkok) ini agar berubah sebelum meninggal supaya jangan terjadi seperti cerita tadi," kata cucu.
  "Sudahlah, kalau itu nggak usah dipikirkan. Kita bilang apapun kepada mereka tak akan berguna itu. Sudah demikian adanya, biarkanlah. Apa yang mereka tanam, itulah yang akan mereka tuai. Adilkan?" kata kakek.
  "Tapi setidaknya adalah yang menasehati mereka kek, agar belajar menghargai orang lain, pemikiran orang lain. Jangan hanya pemikirannya yang bungkuk dan bengkok itu saja yang ditonjolkan terus, dan merasa benar sendiri terus," kata cucu.
  "Mungkin hati dan pikiran mereka sudah mengeras bagaikan batu, jadi sudah sulitlah diubah itu," kata kakek.
  "Jadi menurut kakek, mereka tak bisa berubah lagi?" tanya cucu.
  "Kurasa ya," jawab kakek.
  "Kalau begitu pandangan kita tentang merekalah yang kita ubah ya kek," kata cucu.
  "Ya, setuju. Pandangan kita yang berubah tentang mereka," kata kakek mendukung apa yang dikatakan cucunya.
Ah, memang kalau pikiran sudah bungkuk dan bengkok, sulit untuk dirubah, ya sudahlah. Biarkanlah semua ini terjadi dan berlalu, semoga generasi berikut akan lebih baik lagi pemikirannya, gumam kakek dalam hati. Sekian dulu.