"Tenang kek, jangan dipotong dulu. Penjelasan tadi baru pengantar. Kalau dalam pantun, itu baru sampirannya. Isinya segera menyusul, ketika kakek potong tadi," kata cucu.
  "Ya, oke lanjutkanlah isinya," kata kakek.
  "Pilihan kisah itu kan menyesuaikan dengan kakek sebagai pendengar atau audiensi saya pagi ini. Cerita kampung, dukun, sakit dan berbagai mistis itu cocok dengan kaum kolonial seperti kakek. Kalau kuceritakan tentang game, komik dan yang lain, nanti kakek tak paham dan tak menarik. Ngantuk pula nanti kakek,  terantuk, bisa gawat acara jalan pagi kita ini. Cerita dukun besar menarik kan kek?" tanya cucu menegaskan.
  "Menariklah, makanya kakek tadi senang berjalannya dan tak terasa kita sudah tiba di rumah," kata kakek senang.
  "Jadi cerita ini sekaligus mengingatkan orang yang masih hidup sekarang kek. Karena agaknya cerita di kampung itu ada miripnya dengan orang-orang yang ada di sekitar kita sekarang," kata cucu.
  "Apa maksudmu? Siapa?" tanya kakek.
  "Sekarang ini juga ada Pasukan PBB  juga kek," kata cucu.
  "Pasukan PBB? Memang ada perang dimana? Biasanya Pasukan PBB dikirim kalau ada perang di satu negara atau kawasan," kata kakek.
  "Bukan Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa kek. Pasukan Pemikir Bungkuk Bengkok (PBB)," kata cucu.
  "Ah, kamu bercanda saja sih. Saya kira ada perang baru," kata kakek kaget
  "Pasukan Pemikir Bungkuk Bengkok ini suka bergerombol maupun sendiri-sendiri mengembangkan dan menghembuskan pemikiran bungkuk dan bengkok. Ada yang baru dipecat seperti cerita tadi dari sebuah perusahaan negara, kerjanya hanya nyinyir tiap hari. Dimana-mana pikiran bengkok dan bungkuknya terus dikumandangkan," kata cucu.