Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sang Dukun Politik

20 Mei 2020   21:13 Diperbarui: 20 Mei 2020   21:09 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sang Kakek sedang mendengarkan siaran TV ketika Sang Cucu datang membawa kopinya. Setelah meletakkan kopi kakeknya, Sang Cucu membuka pembicaraan.

   "Kakek sudah mendengar kabar ramalan politik 2024 nggak?" tanya cucu.

   "Ramalan cuaca kali?" tanya kakek bercanda.

   "Ini serius kek. Seorang dukun  politik membuat ramalan dalam satu diskusi dengan orang yang baru terdampar dan terlempar dari kekuasaan. Mereka membuat peta politik tahun 2024. Berbagai skenario mereka diskusikan, seakan merekalah yang menentukan peta politik 2024 itu," kata cucu.

   "Ah itu kan biasa bagi peramal politik,"

   "Juga dia cerita bagaimana dulu dia mendudukkan seorang presiden," kata cucu.

   "Yah memang dia waktu itu ikut bermain dan bahkan dia aktor utamanya," kata kakek.

   "Tapi untuk apa itu diceritakan lagi kek?" tanya cucu.

   "Nostalgialah. Biar orang jangan lupa bagaimana dia dulu ikut serta menentukan siapa yang didukungnya menjadi presiden," kata kakek enteng.

   "Tapi ada kata orang bijak ini kek. Kalau seseorang hanya menonjolkan cerita nostalgia masa lalunya saja, patut diduga dia tidak ada prestasi hari ini. Misalnya penulis, kalau hanya cerita tulisannya dulu aja, berarti tak ada lagi tulisannya yang dibanggakannya hari ini," kata cucu.

   "Masih ada lagilah. Cuma memang di partai yang didirikannya namanya tidak ikut lagi. Jadi mereka sedang mempersiapkan pendirian partai baru," kata kakek.

   "Nah, itu kan. Didepak dari partai yang didirikannya dulu, kini mau buat partai baru. Apa mudah membuat partai baru? Okelah bisalah dibuat partai baru, apakah nanti bisa masuk DPR 2024?" tanya cucu.

   "Bisa ya, bisa tidak, tergantung situasi 2024 itu. Siapa yang tahu," kata kakek.

   "Justru disitu masalahnya kek. Seharusnya sebagai dukun politik, dia harus bisa meramal nasibnya dengan partai barunya 2024," kata cucu.

   "Begini ya. Para dukun biasanya sulit meramal nasibnya sendiri. Sama dengan seorang tukang membuat rumah. Dia bisa membuat rumah orang bagus, tapi tidak untuk rumahnya sendiri. Makanya rumah para tukang biasanya kurang bagus," kata kakek.

   "Kalau tidak bisa meramalkan diri sendiri, minta tolonglah kepada sesama dukun politik untuk nasibnya nanti. Atau kakek dulu yang meramal nasib dukun politik itu. Sesama dukun politik bolehlah saling membantu," kata cucu.

   "Menurut ramalanku, posisinya sulit. Dan ramalan politik mereka ini juga belum tentu terjadi," kata kakek.

   "Apa kira-kira dasar ramalan kakek ini?" tanya cucu.

   "Satu partai yang baru dibangun atas dasar konflik dan perpecahan selalu bernasib buruk. Kalau pisah baik-baik, mungkin ada peluang. Penilaian konstituen pemilih terhadap partai yang dilanda konflik sangat jelas hukumannya. Apalagi ini konflik partai diantara sanak saudara atau berkeluarga. Jadi sulit ditebak," kata kakek.

   "Kenapa memang kalau berhubungan keluarga? Apa salahnya?" tanya cucu.

   "Ini kan mereka besanan. Kakek ini keluar dari partai itu mendirikan partai baru. Anaknya yang menjadi menantu pimpinan partai lama tinggal bersama mertuanya. Berarti dia memilih ikut mertua, bukan bapaknya. Satu anaknya keluar dari partai yang lama ikut dia. Nah abang beradik berada di dua kubu yang berbeda. Misalnya mereka ini nanti maju menjadi caleg 2024, adalah keluarga mereka mau memilih, nah yang dipilih siapa? Semua anggota keluarga. Biasanya yang terjadi, memilih orang lain sajalah. Tidak enak satu sama lain. Hilang suaranya. Bisa amblas dua-dua," kata kakek.

   "Wah seru juga ya kek," kata cucu.

   "Dan bagi kita orang timur apalagi sisitem di keluarga kita, sangat susah seperti ini. Masa besanan atau marhulahula boru berkonflik. Kakek ini seharusnya hormat sama besan (hulahulanya) itu. Sama mertua anak kita harus hormatlah. Kalau tak hormat, kualat namanya. Ada resikonya itu," kata kakek.

   "Ya juga ya kek. Tidak hormat sama besan (hulahulanya) mana mendapat doa dan berkat ya," kata cucu menimpali.

   "Makanya susah sekali kalau politik dan keluarga dicampur-campur. Sulit mengatasi kalau ada konflik seperti ini. Anaknya itu kan jadi susah. Memihak ayah atau mertua. Akhirnya dia memilih mertua. Kasihan bapaknya kan.  Sudah diurus mulai kecil, sementara mertuanya baru berapa tahun, eh sudah memihak mertua. Celaka kan," kata kakek.

   "Berarti mertuanya lebih baik mungkin kepada menantunya, daripada bapak ke anaknya," kata cucu.

   "Makanya sulit. Jadi kalau boleh politik ya politiklah. Keluarga ya keluargalah. Jangan dicampur-campur," kata kakek.

   "Setujulah kek, jangan dicampur-campur," kata cucu.

Oh politik, oh keluarga, ah susah jadinya kalau konflik kepentingan di partai politik, membawa  akibat kepada keluarga. Makanya politik ok, keluarga ok, jangan dicampur-campurlah, gumam kakek. Sekian dulu.

Terimakasih.  Salam dan doa.

Aldentua Siringoringo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun