Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sang Orator Cilik

8 Mei 2020   22:46 Diperbarui: 8 Mei 2020   22:43 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

   "Halo kek. Selamat pagi," kata sang cucu sambil mengantar kopi kakeknya.

   "Selamat pagi, terima kasih kopinya," jawab kakek.

   "Begini kek. Ini saya mau menyampaikan protes keras sebagai orang cilik atau anak kecil," kata cucu.

   "Urusan apa protes ini?" tanya kakek.

   "Ini urusan pidato gadis cilik. Apa salahnya seorang gadis cilik berpidato atau menjadi orator?" tanya cucu.

   "Memang siapa yang keberatan?" tanya kakek.

   "Ini kan diributi di tweeter dan menjadi viral, " jelas cucu.

   "Yang diributi kan bukan soal pidatonya, namun karena diunduh di media sosial dan masuk media cetak. Itulah yang diikuti sang penggiat sosial itu." kata kakek.

   "Lho, untuk apa anak kecil yang pidato diributin?" tanya cucu.

   "Begini itu. Yang dikomentari sang penggiat media sosial itu kan karena pidato itu diunduh di media sosial. Yang disindirnya adalah partai dan  sang ayah yang mengunduh itu. Bapaknya yang tidak bijak membawa anaknya ke ranah publik dan politik, lalu ditanggapi orang. Siapa suruh bawa anaknya ke ranah itu. Itu yang harus diprotes." kata kakek.

   "Keduanya saya protes. Ayahnya yang mengunduh tidak baik. Kok mengeksploitasi anaknya ke ranah publik dan politik. Apa tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk mengajukan usul. Kenapa harus anak cilik? Tetapi yang menyindir ini juga kurang bijak. Kenapa pas anak cilik disuruh pidato baru dia menyindir partai itu. Langsung saja ke partai dan pengurusnya disindir? Semua kekanak-kanakan dan memanfaatkan anak-anak sebagai bahan eksploitasi," kata cucu.

   "Ini kan soal momen. Pas ada seperti itu diunduh, langsung dimanfaatkan. Semua saling mengintip," kata kakek.

   "Itu namanya kurang cerdas kek. Seharusnya bisa ditiru bapak presiden dalam menjawab cengengesan atau kritik atau sumpah serapah yang menjelekkan pemerintah. Pada waktu ada namanya Tour of The Java. Selama sebulan mereka komat-kamit ribut soal kebijakan pemerintah ini itulah dan berbagai kekurangan pemerintah. Presiden sangat tenang menghadapinya. Berpikir cermat, bertindak cerdas. Tiba-tiba satu pagi presiden berkunjung ke Hambalang, proyek mangkrak dan korupsi 2,3 triliun itu. Masuk media, viral, apa yang terjadi? Semua diam seribu bahasa, tour sebulan amblas dan senyap. Begitu cara menyindir. Cermat dan cerdas. Bukan seperti ini menyindir soal bapak, anak, cucu dan cicit. Beraninya kepada anak kecil saja. Dan permainannya kecil,"  kata cucu.

   "Wah hebat ceramahmu pagi ini," kata kakek memuji cucunya.

   "Harus begitu dong.  Eleganlah. Jangan percuma punya pengalaman dan pengetahuan sampai sekolah ke luar negeri, namun tidak bijaksana," kata cucu.

   "Oke, kalau begitu bagaimana cara yang elegan untuk menjawab pidato gadis cilik ini?" tanya kakek.

   "Ini baru permainan yang elegan. Pertanyaannya juga memakai kata elegan," kata cucu.

   "Ah, jangan banyak ngomong, jawab pertanyaan saya," kata kakek.

   "Jadi begini kek. Kata orang bijak dan pintar, jika kau mau membantah sebuah isi buku, maka tulislah buku untuk membantahnya. Jika kau ingin mengkritik sebuah tulisan, buatlah tulisan untuk mengkritiknya. Kalau ada pidato yang ingin kau bantah, buatlah pidato yang membantahnya," jawab cucu.

   "Jadi pidato gadis cilik ini harus dijawab dengan pidato?" tanya kakek.  

   "Itu betul. jangan seperti teman saya di sekolah kek. Ada satu orang yang selalu mengomentari isi majalah dinding kami. Setiap ada orang membuat puisi, dia selalu berkomentar, puisinya tidak bagus. Tak jelas. Kalau ada yang membuat gambar atau karikatur, tidak bagus. Semua tidak bagus. Alasannya saya kan mengkritik. Padahal sudah menilai dan menghakimi. Dan ironisnya dia tidak pernah menulis puisi, membuat karikatur atau apalah karya di majalah dinding. Makanya kalau dia membicarakan isi majalah dinding,  tidak ada lagi yang menanggapi, dianggap siaran radio yang rusak. Mengerikan. Jadi jangan seperti itu kek," kata cucu.

   "Jadi siapa yang harus diminta berpidato menjawab pidato gadis cilik itu?" tanya kakek.

   "Kalau dari sono dikirim anak cilik, ya dari sini juga anak ciliklah. Biar sama-sama orator cilik," kata cucu.

   "Kalau dikirim orang besar, kalau lebih bagus pidatonya, wajarlah, namun kalau kalah, wah percuma sudah besar orangnya, sama anak kecil kalah. Susah itu urusannya yah. Lalu siapa?" tanya kakek.

   "Saya akan berpidato kek. Sama bentuknya. Berpidato seakan di depan bapak presiden dan menteri dan topiknya tentang corona juga. Kita rekam pidatonya dan disampaikan ke presiden. Tidak boleh diunduh di media sosial dan media cetak. Cukup bapak presiden saja yang menonton. Begitu kalau mau kasih usul yang elegan." kata cucu.

   "Apa judulnya?"Tanya kakek lagi. Kali ini kakek menjadi penanya dan pendengar yang baik bagi cucunya yang sok pintar dan kepintaran ini.

   "Dia memilih judul 'Lockdown'. Saya memilih 'Tidak Lockdown'. Jadi dia memilih tesis Lockdown, saya memilih anti tesis Tidak Lockdown. Seperti teori Dialektikanya Hegel itu kek. Tesis versus anti tesis, maka akan melahirkan sintesis," kata cucu.

   "Ah sok pintar kau. Darimana kau tahu itu?" tanya kakek.

   "Lho, kan kakek pernah cerita soal teori itu dan bukunya ada di kamar kakek. Pernah saya baca diam-diam kek, " jawab cucu.

   "Ini namanya mencuri ilmu kakek," kata kakek.

   "Ini  mencuri tapi tidak ada yang kehilangan kek. Tidak ada yang dirugikan, jadi kakek tidak boleh menuntut pencurinya. Tidak ada pasal dalam KUHP yang dilanggar, " kata cucu membela diri.

   "Ya sudahlah, sok pintar kali kau. Ayo bagaimana pidatonya?" tanya kakek.

   "Ayo kita rekam ya kek. Saya ganti baju dulu. Kalau mau pidato di depan presiden harus dengan pakaian sopan dan bicara yang sopan," kata cucu sambil pergi ke kamarnya.

Tidak begitu lama dia sudah muncul dengan baju putih lengan panjang dan lengannya digulung, seperti gaya presiden saja.

Rekaman pidato dimulai. Sang kakek merekam dengan Smartphonenya.

"Bapak Presiden yang terhormat, perkenankanlah saya menyampaikan pidato sebagai anak cilik Indonesia yang mencintai negeri ini dari lubuk hati yang dalam dan tulus. Minggu lalu seorang sahabatku gadis cilik telah menyampaikan pidato tentang lockdown dalam bahasa Inggris. Kali ini saya menyampaikan pidato ini dalam bahasa kebangsaan kita yang diikrarkan pada waktu Soempah Pemoeda tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia. Perlu bapak Presiden tahu bahwa saya jago berbahasa Inggeris. Nilai TOEFL saya sudah mencapai 500. Mungkin bahasa Inggris saya lebih baik daripada mereka. Dalam kesempatan ini saya berbicara dengan Presiden RI dan menteri-menterinya, maka saya memakai bahasa resmi bangsa kita, bahasa Indonesia. Tidak sok memakai bahasa Inggris,"

   "Jangan panjang-panjang, singkat saja," kata kakek berbisik.

   "Saya menyampaikan pendapat saya agar bangsa kita jangan diberlakukan Lockdown. Kenapa? Pertama, mental bangsa kita masih buruk. Kalau Lockdown diberlakukan dan dilakukan pembagian pangan kebutuhan pokok, maka yang duluan antri adalah orang yang mampu membeli makanan,  karena gratis dari negara dan semua akan berlomba. Tak  ada rasa malu sebagai orang yang berpunya. Kedua, pembagiannya akan rusuh sebab cebong dan kampret akan berebut dan berantam tak karuan. Kerusuhan akan terjadi. Sudah banyak yang mengintip untuk melakukan kerusuhan. Ini kesempatan baik bagi mereka. Ketiga, belum ada negara di dunia ini yang sukses dengan Lockdown, malah rusuh. Dengan alasan itu, saya menyampaikan pendapat jangan Lockdown pak presiden. Itulah pikiran saya yang sederhana  sebagai orang cilik yang mencintai bangsa ini dan  bapak presiden.

Kami mendoakan bapak presiden sehat-sehat selalu dan tetaplah fokus memimpin bangsa ini. Jika ada yang menggoda bapak menjadi penyanyi atau mencipta lagu atau membuat album, jangan pernah mau bapak presiden. Tugas presiden adalah memimpin negara, bukan menyanyi atau menciptakan lagu. Biarlah itu dikerjakan para penyanyi dan pencipta lagu kita. Demikian pidato ini saya sampaikan atas perkenan bapak presiden, kami sampaikan banyak terima kasih. Kalau ada yang salah, mohon dimaafkan.

Seperti pepatah kakekku, ramba naposo na so tubuan lata, hami naposo naso umboto hata. Artinya kami yang masih muda belum paham berkata-kata. Hanya seperti inilah pidato kami pagi ini. Sekali lagi terima kasih. Horas Bapak Presiden."

Kakek tepuk tangan dengan seru.

   "Oke, pidato segera kita kirimkan ke presiden," kata kakek.

   "Dan tidak boleh diunduh ke media sosial atau media cetak," kata cucu.

Pidato dijawab dengan pidato, tidak perlu sindir-menyindir, tak perlu nyinyir, saling mengerti, tak perlu ke polisi, anak cilik dijawab anak cilik, luar biasa ide cucuku ini, gumam kakek.

Terima kasih. Salam dan doa

Aldentua Siringoringo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun