Hayan duduk di teras rumah Laila, memainkan ponselnya sambil menunggu pesan dari Laila. Sudah tiga hari terakhir ia mengirimkan pesan-pesan singkat, tetapi tidak satu pun yang dibalas. Akhirnya ke rumah Laila tapi kata Ibunya Laila sedang keluar, Hayan memilih menunggu diteras sendirian. Â Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa cemas yang semakin menumpuk atas cueknya Laila.
"Apa yang salah? Kenapa dia berubah begini?" gumamnya pada diri sendiri.
Saat itu, suara sepeda motor terdengar mendekat. Hayan segera berdiri, Laila akhirnya datang. Benar saja, Laila turun dari motor dengan wajah datar tanpa senyuman yang biasa ia tunjukkan.
"Laila, Â Aku sudah menunggu dari tadi," ujar Hayan dengan nada penuh harap.
"Ada apa?" jawab Laila singkat sambil melepas helm.
Hayan tertegun. Sikap dingin itu kembali menusuk hatinya. Ia mencoba tersenyum. "Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku merasa kita jarang bicara akhir-akhir ini."
Laila menghela napas panjang. "Hayan, aku sibuk. Banyak yang harus aku urus. Aku nggak punya waktu untuk hal-hal yang nggak penting."
"Hal-hal yang nggak penting?" Hayan merasa jantungnya seolah berhenti berdetak. "Laila, aku... aku nggak ngerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"
Laila menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya. "Nggak ada yang salah, Hayan. Aku cuma butuh ruang."
"Ruang? Kita sudah bersama selama dua tahun, Laila. Aku selalu ada untukmu, mendukungmu, mencintaimu. Apa itu nggak cukup?" suara Hayan bergetar, mencoba menahan emosi.
"Cukup atau nggak, itu bukan masalahnya," jawab Laila dingin. "Aku hanya merasa... mungkin ini saatnya aku fokus pada diriku sendiri. Kita nggak perlu membicarakan ini lagi."