Malam minggupun datang.Selepas Isya, aku memacu motorku membelah malam. Aku berhenti didepan rumah bercat putih. Aku menunggu sebentar di seberang, memperhatikan apakah ada yang datang. sepuluh menit aku menunggu tak ada yang datang. Rumah Vira juga nampak sepi.Â
Aku memberanikan diri, mengetuk pintu rumah Vira. "Assalamualaikum"
Tidak ada jawaban. Aku mencoba lagi. Juga tidak ada jawaban. Aku duduk di atas motorku. Kucoba WA Vira. Centang satu. Kemana Vira? bisik hatiku. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Aku terkejut.Â
"Hi, Ki. Ngapain kamu ada disini?" Tanya Firman.Â
Bangsat. Benar rupanya. Bisik hatiku. "eh,..nggak..tadi lewat..lalu mampir...Sepertinya Vira tidak ada di rumah, sudah beberapa kali salam tak ada yang nyahut..ini mau balek pulang ..kamu sendiri ? tanyaku.Â
"Ooh...Vira hari ini tunangan. Saya membantunya, ini mau jemput barang yang tertinggal."
"Tunangan??? Vira kan masih sekolah? " Aku bertanya heran.Â
"ssst...ini rahasia. Aku keceplosan. Ya sudah aku cerita aja...tapi kamu simpan rahasia ini ya. Ayah Vira rupanya ada perjanjian dengan kawan karibnya akan menjodohkan anak mereka. Nah, Kawan karib ayah Vira itu sedang sakit keras, jadi permintaanya dia ingin melihat anaknya menikahi Vira, tapi karena Vira masih sekolah akhirnya disepakati tunangan saja."
Aku mengangguk-angguk. Ada mendung dimataku.Â
"Ikhlaskan aja bro...aku aja ikhlas. Kita sama-sama mengejar cinta Vira kan. Tapi, begitulah takdirnya. Aku ini teman Vira sejak kecil, aku sudah mengincarnya dari SMP malah. haha. tak juga dapat bro.., malah aku pula yang menghadiri pertunagannya. Sakit, sii...tapi harus ikhlas. Itulah cinta sejati. Calon suaminya bagus kok, Seorang Magister bekerja di Industri perminyakan, gajinya gede...tampan, muda dan sholeh pula. Kalah kita bro. Nasib kita aja belum jelas. haha..." Firman menepuk-nepuk pundakku. Kami tertawa bersama.Â
Ya. Semua sudah tertulis di Lahus Mahfuz, termasuk Cinta. Kita semua sedang meniti jalan cinta tanpa tahu bagaimana ujungnya.Â