Mohon tunggu...
Mustafa Kamal
Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Guru - Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

Abdinegara/Apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kompas Si Ana

24 November 2013   22:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:44 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sampai di ketinggian tertentu kami berhenti. Dari atas batu pemandangan terlihat sangat menganggumkan. Langit biru dan awan yang seperti kasur empuk luas terhampar.  "Cari bunga edelwis, yuk!" Ajak Ana.

"Ayok!" Akupun setuju.  Sebab bunga keabadian itu memang adanya di gunung ini.

Kami menelusuri sebuah turunan dan berbatu. Masuk kedalam hutan, semakin jauh dari jalan pendakian.  Aku pegang tangan lembut ana erat, takut dia jatuh.  Saking senangnya bisa pegangan tangan, berdua pula di hutan sunyi, membuat aku lupa mengingatkan dia kalo sudah tersesat jauh.

"itu bunganya! "Ana teriak kegirangan. Bunga putih seperti padi terlihat dibalik batu-batu dan telaga kecil. Sebelum mengambil bunga itu aku dan Ana mencuci muka dengan air telaga tersebut lalu makan roti serta minum air yang kubawa untuk melepas dahaga dan menahan lapar.  Aku panjat batu-batu itu dan memetikkan bunga edelwis itu untuk Ana. Ana sangat senang sekali. Senyum manis menghias wajahnya.

"ayuk balik!' Ajak Ana karena jam menunjukkan sudah lepas dzuhur takut pulang kesorean. Kami menelusuri jalan yang kami lewati tadi. Kami kehilangan jejak. Berputar-putar kembali lagi ke telaga tadi. Ana menangis. "Ana takuut, Lang...! " Kepalanya bersumbunyi dipunggungku.

Sebagai laki-laki walau sudah sangat cemas, aku coba tidak nampak risau. Percuma aku dipanggil Alang alias si Petualang. "Sabar ya Ana...Kompasnya ada bawa nggak?" Tanyaku tak yakin. Sebab saking girangnya aku lupa mengingatkan Ana waktu berangkat tadi.AKu lihat hape tak ada sinyal.

"Enggak..." Kata Ana lemah. Wajahnya nampak pucat. Matanya berair dan sembab. Aku beranikan diri mengusap air matanya. Aku peluk dia. Ana menurut saja. Aku berkata pelan ditelinganya. "Percaya sama Alang! Kita akan pulang!" Sedang jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.

Aku mengarahkan telunjuk ke arah mata hari terbenam. "Kita ikuti arah jari tengah ini! Patokan kita matahari itu! Kataku pada Ana. "Ohya, kita harus minta maap dulu sama penunggu tempat ini karena tadi tak minta izin  waktu ambil Edelwisnya!"

Ana mengangguk pelan. Tangannya memegang tanganku erat mencari perlindungan. Kami berucap  maap dan minta izin membawa bunga edelwis tersebut disamping telaga. Setelah itu kami pun menelusuri satu arah saja. Sesekali aku arahkan telunjukku kembali ke arah terbenam matahari. Kami terus lurus seperti arah yang ditunjukkan jari tengah. Arah kiblat.

Akhirnya setelah melewati hutan dan semak belukar, kami sampai disebuah kebun teh. Berarti sudah dekat perkampungan. Beruntung kami tak diganggu binatang buas.  Singkat cerita akhirnya kami berjumpa dengan yang punya kebun dan kami diantar hingga ke jalan raya yang dilewati kendaraan ke kota. Kami tersesat jauh ternyata.  Petani itu pamit kembali ke kebunnya dan kami mengucapkan ribuan terimakasih.

Ana memelukku erat di tepi jalan itu. Sangat erat! "Makasih ya,Lang! Telah selamatkan, Ana! Aku bahagia sekali. Empuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun