Mohon tunggu...
Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Al Chaidar Abdurrahman Puteh Mohon Tunggu... Dosen - Dosen pada Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Indonesia

Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh adalah antropolog lulusan Universitas Indonesia (2023) yang kini bertugas sebagai dosen pada Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh. Lahir di Lhokseumawe, 22 November 1969. Menulis buku _Pemikiran Politik SM Kartosoewirjo_ (2000) dan _Aceh Bersimbah Darah_ (1998). Kini sedang berada di Leiden, Belanda, meneliti tentang nomokrasi dalam konstitusi Darul Islam Indonesia dan Imarah Islam Afghanistan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antropologi Kedaulatan: Menalar Sengketa Laut Natuna Utara Secara Kultural

6 Maret 2024   14:25 Diperbarui: 6 Maret 2024   14:31 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, antropologi juga dapat memberikan kontribusi dalam bidang pariwisata, yang merupakan salah satu sektor ekonomi yang potensial di Laut Natuna Utara. Timothy (2019: 32) mengemukakan bahwa pariwisata dapat menjadi alat untuk mempromosikan perdamaian, dialog, dan pemahaman antara negara-negara yang bersengketa. Pariwisata dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal dan wisatawan untuk bertemu, berinteraksi, dan saling mengenal budaya dan keindahan alam di kawasan tersebut. Pariwisata juga dapat memberikan insentif bagi negara-negara yang bersengketa untuk menjaga lingkungan dan sumber daya alam yang menjadi daya tarik wisata.

Kesimpulan Reflektif

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa antropologi dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok. Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda antara kedua negara, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal dan regional. Antropologi juga dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi.

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan budaya mereka dalam konteks sosial, sejarah, dan lingkungan. Antropologi dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok, yang telah berlangsung sejak lama dan menimbulkan ketegangan di kawasan. Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda antara kedua negara, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal dan regional. Antropologi juga dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi. Antropologi juga dapat membantu menjembatani perbedaan dan mencari jalan damai melalui dialog, kerjasama, dan penghargaan terhadap keberagaman.

Salah satu isu utama dalam sengketa Laut Natuna Utara adalah klaim kedaulatan yang bertentangan antara Indonesia dan Tiongkok. Indonesia mengklaim bahwa Laut Natuna Utara termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982. Sementara itu, Tiongkok mengklaim bahwa Laut Natuna Utara termasuk dalam "garis sembilan putus-putus" yang mencakup sebagian besar Laut Cina Selatan, berdasarkan sejarah dan tradisi Tiongkok. Klaim ini tidak diakui oleh UNCLOS dan ditolak oleh Indonesia dan negara-negara lain di kawasan (Tubilewicz, 2019: 3-4).

Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda ini dengan mengkaji aspek-aspek sosial, budaya, sejarah, dan politik yang melatarbelakanginya. Antropologi dapat menunjukkan bahwa kedaulatan bukanlah sesuatu yang tetap dan objektif, melainkan sesuatu yang dinamis dan subjektif, yang terbentuk melalui narasi, praktik, dan interaksi antara berbagai aktor (Chen, 2015: 2). Antropologi juga dapat menunjukkan bahwa konsep kedaulatan tidak hanya berkaitan dengan wilayah atau batas negara, melainkan juga dengan identitas, hak, dan kewajiban dari berbagai kelompok masyarakat yang hidup di dalamnya (Merry, 2006: 100).

Dengan demikian, antropologi dapat memberikan wawasan tentang bagaimana masyarakat lokal dan regional di Laut Natuna Utara memandang dan mengalami sengketa tersebut. Antropologi dapat meneliti bagaimana masyarakat nelayan, pedagang, wisatawan, aktivis lingkungan, pejabat pemerintah, militer, dan lain-lain berinteraksi dengan Laut Natuna Utara sebagai ruang hidup mereka. Antropologi juga dapat meneliti bagaimana masyarakat tersebut mengembangkan hubungan sosial dan budaya dengan masyarakat di seberang laut, baik dari Indonesia maupun dari Tiongkok. Antropologi juga dapat meneliti bagaimana masyarakat tersebut menghadapi dampak-dampak dari sengketa tersebut, seperti ancaman keamanan, kerusakan lingkungan, konflik sosial, atau peluang ekonomi (Ma, 2020: 2-3).

Dari hasil penelitian tersebut, antropologi dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi. Antropologi dapat menunjukkan bahwa Laut Natuna Utara memiliki makna dan nilai yang beragam bagi berbagai kelompok masyarakat yang terlibat di dalamnya. Antropologi juga dapat menunjukkan bahwa Laut Natuna Utara memiliki sejarah dan tradisi yang panjang dan kaya, yang mencerminkan interaksi antarbudaya yang dinamis di kawasan tersebut (Evers, 2014: 1-2). Antropologi juga dapat menunjukkan bahwa Laut Natuna Utara memiliki potensi dan tantangan yang berbeda-beda, tergantung pada sudut pandang dan kepentingan yang dijadikan acuan (Timothy, 2019: 26-27).

Dengan demikian, antropologi dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok, dengan cara yang lebih holistik, inklusif, dan humanis. Antropologi dapat membantu menjembatani perbedaan dan mencari jalan damai melalui dialog, kerjasama, dan penghargaan terhadap keberagaman. Antropologi dapat membantu mengedepankan perspektif masyarakat lokal dan regional, yang seringkali terabaikan atau dimarginalkan dalam pembahasan sengketa tersebut. Antropologi juga dapat membantu mengembangkan visi bersama tentang Laut Natuna Utara sebagai ruang nusantara, yang menghubungkan berbagai bangsa dan budaya di kawasan tersebut (Evers, 2016: 1-2).

Antropologi juga dapat membantu menjembatani perbedaan antara hukum internasional dan hukum lokal dalam menyelesaikan konflik lintas budaya, serta mengembangkan mekanisme alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang lebih inklusif, partisipatif, dan adil. Antropologi juga dapat memberikan kontribusi dalam bidang pariwisata, yang merupakan salah satu sektor ekonomi yang potensial di Laut Natuna Utara.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun