Program-program ini mencerminkan pendekatan holistik yang tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi pertanian, tetapi juga pada aspek-aspek sosial dan lingkungan yang berkelanjutan. Dengan demikian, Aceh Singkil berupaya untuk tidak hanya memperkuat sektor pertaniannya, tetapi juga untuk menciptakan sebuah ekosistem yang sehat dan berkelanjutan yang dapat mendukung kehidupan masyarakatnya jangka panjang. Inisiatif seperti SLV dan gerakan menanam tanaman pangan demplot adalah contoh dari upaya-upaya tersebut, yang menunjukkan komitmen untuk memajukan sektor pertanian melalui kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Menghadapi tantangan perubahan iklim yang mempengaruhi sektor pertanian, Syuhaimi telah mengusulkan strategi yang mencakup berbagai aspek mitigasi dan adaptasi. Dalam hal mitigasi, rencananya termasuk penggunaan varietas tanaman yang menghasilkan emisi gas rumah kaca lebih rendah, serta penerapan teknologi pengelolaan air dan lahan yang efisien untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Teknologi adaptasi yang diusulkan meliputi penyesuaian waktu tanam untuk mengakomodasi perubahan pola cuaca, penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap kondisi kekeringan, banjir, dan salinitas, serta pengembangan sistem pengelolaan air yang lebih baik untuk mengatasi masalah kekurangan air saat musim kemarau dan banjir saat musim hujan.
Selain itu, Syuhaimi juga memperhatikan pentingnya pendekatan kolaboratif dalam mengatasi perubahan iklim. Program Sustainable Living Village (SLV), misalnya, adalah inisiatif yang bertujuan untuk menciptakan model penghidupan yang berkelanjutan melalui kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Program ini fokus pada peningkatan ketahanan masyarakat dan keberlanjutan penghidupan dengan menciptakan dampak lingkungan yang positif, mengisi kesenjangan pengetahuan, dan mengurangi ketidaksetaraan melalui inisiatif yang disesuaikan untuk meningkatkan penghidupan, perlindungan hutan, dan mendukung kolaborasi lanskap melalui Production, Protection, dan Inclusion (PPI) Compact.
Pemerintah Aceh Singkil juga telah menunjukkan dukungan terhadap gerakan masyarakat menanam, yang merupakan upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kemandirian masyarakat dalam sektor pertanian. Gerakan ini diwujudkan dengan memberi contoh melalui gerakan menanam tanaman pangan demplot di setiap kecamatan, yang semangatnya digelorakan oleh Penjabat Bupati Aceh Singkil. Ini menunjukkan komitmen lokal untuk meningkatkan produksi pangan dan kemandirian masyarakat dalam sektor pertanian.
Dalam konteks perubahan iklim, Syuhaimi juga mengakui pentingnya pelestarian lingkungan hidup sebagai bagian dari strategi adaptasi. Upaya ini termasuk peningkatan kualitas pelayanan publik dan penanggulangan bencana, yang memiliki dampak langsung atau tidak langsung terhadap sektor pertanian. Dengan demikian, strategi yang diusulkan Syuhaimi mencerminkan pendekatan holistik yang tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi pertanian, tetapi juga pada aspek-aspek sosial dan lingkungan yang berkelanjutan.
Melalui pendekatan yang komprehensif dan terpadu, Syuhaimi berharap dapat menciptakan ekosistem yang sehat dan berkelanjutan yang dapat mendukung kehidupan masyarakat Aceh Singkil jangka panjang. Inisiatif seperti SLV dan gerakan menanam tanaman pangan demplot adalah contoh dari upaya-upaya tersebut, yang menunjukkan komitmen untuk memajukan sektor pertanian melalui kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, Aceh Singkil berupaya untuk tidak hanya memperkuat sektor pertaniannya, tetapi juga untuk menciptakan sebuah ekosistem yang dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan tahan terhadap perubahan iklim.
Dalam menghadapi masalah kekurangan air selama musim kemarau di Aceh Singkil, rencana yang diusulkan oleh Syuhaimi mencakup serangkaian strategi adaptasi dan mitigasi yang komprehensif. Salah satu fokus utama adalah pengembangan infrastruktur yang memadai untuk pengelolaan sumber daya air, termasuk pembangunan bendungan dan reservoir yang dapat menampung air selama musim hujan untuk digunakan di musim kemarau. Selain itu, Syuhaimi juga menekankan pentingnya teknologi irigasi yang efisien, seperti sistem irigasi tetes, yang dapat mengurangi pemborosan air dan memastikan distribusi air yang merata ke lahan pertanian.
Penggunaan teknologi pengeboran sumur dalam juga menjadi bagian dari strategi untuk memastikan ketersediaan air bersih bagi masyarakat, terutama di daerah yang sulit dijangkau oleh sistem distribusi air pusat. Syuhaimi juga mengusulkan program edukasi masyarakat tentang konservasi air dan praktik pertanian yang berkelanjutan, yang tidak hanya mengurangi konsumsi air tetapi juga meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kondisi kekeringan.
Program pemanenan air hujan juga menjadi bagian dari solusi jangka panjang, di mana masyarakat didorong untuk mengumpulkan dan menyimpan air hujan selama musim basah yang kemudian dapat digunakan selama periode kekeringan. Inisiatif ini tidak hanya membantu dalam mengatasi kekurangan air tetapi juga mengurangi dampak banjir saat musim hujan.
Syuhaimi juga mempertimbangkan penggunaan teknologi desalinasi, yang dapat mengubah air laut menjadi air tawar, sebagai solusi potensial untuk daerah pesisir yang mengalami kekurangan air tawar. Meskipun ini mungkin memerlukan investasi awal yang besar, teknologi ini dapat memberikan sumber air yang berkelanjutan untuk kebutuhan domestik dan pertanian.
Selain itu, rencana Syuhaimi juga mencakup kerjasama dengan lembaga penelitian dan universitas untuk mengembangkan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan dan membutuhkan air lebih sedikit. Penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapat menghasilkan inovasi yang dapat diaplikasikan langsung di lapangan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air dalam pertanian.