Selain itu, terkait Omnibus Law sendiri tidak dikenal dalam regulasi perundang-undangan. Dalam UU No 12 Tahun 2011 perubahan UU No 15 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, tidak dikenal dan tidak dimuat mengenai penerapan omnibus law. Meskipun dalam ranah implementatif masih dapat diperdebatkan.
Permasalahan Omnibus law cipta kerja tidak hanya di formal namun juga materil dan substansi dari peraturan tersebut. Salah satunya terkait dengan ijin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dalam RUU Cipta Kerja terdapat beberapa regulasi yang dihapus dan diganti yang senyata-nyatanya akan merugikan masyarakat yang berada diwilayah perusahaan.
Dalam RUU Cipta kerja ijin terbitnya AMDAL kian dipermudah. Dalam pasal 24 ayat (3) mengatakan,"pemerintah pusat dapat melakukan uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat.
Hal ini tidak sejalan dengan semangat UU No 32 Tahun 2019 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana dalam uji kelayakan harusnya tetap melibatkan peran serta masyarakat dan organisasi yang bergerak dalam lingkungan hidup
Selain tidak melibatkan masyarakat RUU ini juga akan menghilangkan sense of belonging pemerintah daerah terhadap wilayah lingkungan hidupnya. Hal tidak lepas dari dihapusnya pasal 29 sampai 31 UU No 32 Tahun 2009 tentang peran serta Pemerintah Daerah dalam penerbitan AMDAL.
Seperti yang dimuat dalam pasal 31 UU No 32 Tahun 2009 yang mengatakan,"berdasarkan hasil penilaian komisi penilai Amdal, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota menetapakan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya."Â
Tidak hanya itu, regulasi ini juga menghapus jenis sanksi administratif yang sebelumnya jelas tertuang dalam pasal 76 ayat(2) UU No 32 Tahun 2009. Pun demikian dengan penghapusan pertanggungjawaban mutlak. dimana dalam pasal 88 dikatakan  setiap orang yang mengakibatkan kerusakan serius terhadap lingkungan harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Dihapusnya pasal-pasal  ini akan melanggengkan orang-orang yang ingin merusak lingkungan.
Berdasarkan poin-poin diatas penulis beranggapan, pemerintah tidak menaruh ruang perlindungan pada warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yangmana hal tesebut bertentangan dengan pasal 28H UUD NRI 1945 dimana setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup  baik dan sehat.
Buruh juga tidak terlepas dari RUU Cipta kerja ini. Terdapat beberapa perubahan yang nantinya akan merugikan buruh. Pertama, tentang perjanjian kerja, dalam RUU Ciptakerja pengusaha dapat semena-mena untuk mengakhiri masa kerja buruh.
Hal ini bisa dilihat di pasal 61 poin (1E) dimana apabila kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja dapat menyebabkan berkahirnya hubungan kerja. Dalam pasal ini tidak jelas diatur mengenai apa itu keadaan tertentu artinya perusahaan bisa memecat pekerja dengan dalih keadaan tertentu.
Kedua,  dalam Undang-Undang ketenagakerjaan durasi kerja yakni 5 hari kerja dalam satu minggu maka hal tersebut diganti  menjadi 6 hari kerja dalam satu minggu. Hal ini bisa dilihat pada pasal 76 RUU Cipta kerja.