Wacana omnibus law pertama kali digulirkan pemerintah saat pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode ke-2. Dalam pidato pelantikannya, diawali dengan cita-cita Indonesia di tahun 2045, Indonesia mampu keluar dari jurang kemiskinan, menjadi negara maju dengan pendapatan 27 per-kapita per-tahun.
Di pertengahan pidatonya, Jokowi mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar, yang pertama, Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Kedua, Undang-Undang Pemberdayaan UMKM. Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi Omnibus Law.
Jokowi menepati janjinya saat pelantikan. Pada Rabu,12 Februari 2020, Pemerintah resmi menyerahkan Surat Presiden (Surpres) dan draf Omnibus Law RUU Cipta kerja yang sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja (Cilaka).
Sesaat setelah diserahkan ke DPR, Kehadiran RUU Cipta Kerja menuai protes di kalangan masyarakat. Yang menjadi pertanyaannya, apa itu Omnibus Law Cipta Kerja dan Mengapa kehadirannya dianggap bermasalah oleh banyak kalangan?
Kata Omnibus diadopsi dari bahasa latin Omnis yang artinya, "untuk semuanya." Maka secara sederhana Omnibus Law berarti adalah sebuah peraturan yang terdiri dari banyak Undang-undang yang dihimpun dalam sebuah peraturan. Undang-undang ini biasa disebut Undang-undang sapu jagat. Omnibus Law ini digunakan untuk mencegah tumpang tindih regulasi, efesiensi dan efektifitas perundang-undangan.
Dalam sejarahnya Omnibus Law pertama sekali diperkenalkan oleh Amerika Serikat. Compromis of 1850 merupakan regulasi yang menyatukan perbedaan antar negara-negara yang pro dan kontra dengan perbudakan. Omnibus Law  banyak digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.
Omnibus Law Cipta kerja yang diserahkan oleh pemerintah kepada DPR memuat 11 kluster, 15 bab, 174 pasal, dan 79 perundang-undangan dengan 1203 pasal terdampak. Sesaat setelah diserahkan, Jokowi berpesan kepada ketua DPR, Puan Maharani agar segera menyelesaikan dalam 100 hari kerja.
Tentunya wajar masyarakat bertanya, ada apa di balik ini? Mengingat perlunya kajian komprehensif untuk membahas ini, yang tidak perlu dibatasi oleh waktu karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dalam proses perancangan undang-undang,  pemerintah terkesan diam-diam dalam menyelesaikannya dan juga tidak melibatkan elemen masyarakat dalam prosesnya. Misalnya, tidak mengikutkan serikat buruh yang mana RUU ini sangat berdampak kepada mereka, kemudian transparansi mengenai pembasahan ini  tidak ditemukan sampai pemerintah sudah menyerahkannya ke DPR.
Padahal dalam Pasal 96 UU No 12 Tahun 2011 Tentang peraturan pembentukan perudangan-undangan mengatakan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Secara tidak langsung konsep demokrasi tidak digunakan pemerintah dalam perumusan peraturan ini.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh salah satu mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Maria Farida. Ia menyampaikan, "5 hal perlu diperhatikan terkait rencana omnibus law ini yakni, pemenuhan asas keterbukaan, kehati-hatian, partisipasi masyarakat, sosialisasi yang lebih luas, dan pembahasan yang harus transparan.