Bulan Mei menjadi bulan yang bersejarah bagi seluruh bangsa Indonesia, pada bulan ini, 21 tahun yang lalu dihadapan para petinggi negara dan disaksiskan oleh seluruh  rakyat Indonesia Soeharto resmi mengundurkan diri sebagai presiden kedua Republik Indonesia. Praktis berakhir juga lah 32 Tahun masa kepemimpinan beliau.Â
Di balik lengsernnya Soeharto ada kekuatan besar di baliknya, ada sekumpulan mahasiswa dengan semangat idealisme di dada, dengan kerinduan akan perubahan, dan harapan Indonesia jauh lebih baik lagi. Â Jalan panjang dilalui, dentuman meriam dari aparat menjadi sarapan tiap paginya, biji timah panas tak jarang mendarat kebagian tubuh, hingga meregang nyawa adalah resiko yang harus dihadapi.Â
21 tahun yang lalu, saya masih berumur 3 tahun 3 bulan, sebuah massa di mana saya sedang menikmati indahnya masa anak-anak, bermain kesana kemari, tanpa pernah berpikir Soeharto akan menculik saya karena dianggap telah menghina beliau, atau khawatir dipenjara sebagai tahanan politik (TaPol). Â 21 tahun yang lalu saya masih asyik memainkan mainan saya, bermain bersama teman-teman dimana, diwaktu yang sama ratusan mahasiswa sudah bergerak maju ke istana negara meminta Soeharto mundur.Â
Peristiwa lengser Soeharto tercatat dalam lembar sejarah bangsa ini, namun dalam mata pelajaran sejarah masa sekolah dulu, yang tercatat hanya Soeharto yang mengundurkan diri, jejak-jejak perjuangan mahasiswa tidak sempurna dicatat, pilu di balik lengsernya Soeharto tak utuh dinarasikan. sehingga sampai ke masa Sekolah Menengah Atas dan awal perkuliahan saya tak pernah menau tentang dibalik lengsernya Soeharto, hanya sedikit cerita yang saya ketahui saat itu.Â
Sampai pada akhirnya saya memutuskan mengikuti salah satu organisasi kemahasiswaan. Di sinilah akhirnya saya dibuat sadar akan fakta fakta pilu di balik lengsernya Soeharto, mengerti akan bagiamana mahasiswa menjadi garda utama dalam  penggulingan Soeharto.  sebuah sejarah yang tak pernah diajarkan saat saya bersekolah dulu.Â
Setelah 21 tahun reformasi, sebagian besar mahasiswa di berbagai penjuru daerah merayakannya atau lebih tepatnya mengenangnya dengan melakukan berbagai hal salah satu ritual yang mungkin tak dilupakan yakni, turun kejalan. Â Semuanya dipersiapkan sedemikian rupa mulai dari oret-oretan di karton, spanduk bertuliskan perlawanan, dan yang tak boleh ketinggalan toak atau megaphone pelengkap aksi.Â
Menurut saya turun ke jalan saat peringatan reformasi sah-sah saja, hal tersebut dapat menjadi sarana mengedukasi masyarakat sekaligus merawat ingatan kita. Namun mengisi reformasi dengan hanya turun ke jalan tidaklah cukup tetapi mahasiswa harus mampu  memetik pelajaran-pelajaran berharga dari peristiwa reformasi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.Â
Peristiwa reformasi harus kita lihat secara utuh bahwasannya apa yang tampak heroik saat itu ada motif lain di baliknya. Aktivis-aktivis yang dulunya kurus kerempeng, suara melengking kini duduk nyaman di senayan, aktivis yang kau puja setengah mampus kini tak lebih dari petugas partai politik. perut buncit kini menghiasi tubuhnya. Â dengan modal aktivis reformasi 98 mampu menjadi jualan ampuh untuk memuluskan langkah ke singgah sananya dan apa yang dulunya tampak idealis ternyata tak lebih sebagai jembatan menuju kekuasaan.Â
Pelajaran penting apa yang bisa kita petik dari fenomena ini yakni terkooptasinya mereka ke langgam kekuasaaan. Soe Hok Gie pernah mengalami hal yang sama di mana teman-teman dia berjuang melawan rezim Soekarno saat itu, satu persatu putar haluan. Â Memiilih menjadi bagian dari penguasa, dibandingkan berlelah letih, bercucuran keringat, dan menghabiskan suara. Â dari pengalaman tersebut Soe Hok Gie mengatakan, "lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan". Â sebuah kalimat yang sering dipekikkan oleh mereka yang merasa dirinya aktivis.Â
Yang menjadi pertanyaannya, apakah yang dilakukan oleh pendahulu kita sudah tepat adanya? pastinya akan banyak perspektif yang muncul, akan ada pro kontra itu sudah pasti. menurut saya, memilih masuk ke jalur kekuasaan adalah hal yang sah-sah saja selagi mereka masih memegang teguh komitmennya saat berada di barisan rakyat. Sialnya, itu hanya isapan jempol belaka.Â
Lantas bagaimana dengan mahasiswa sekarang, harus kita akui bersama bahwasahnya hari ini terjadi degradasi di kalangan mahasiswa baik dari segi intelektual, moral, dan lain sebagainya. Praktis 21 tahun reformasi yang dikenang oleh mahasiswa tak lebih dari perayaan semu, terjebak dalam delusional seolah-olah kita sudah memaknai, seolah-olah kita sudah merefleksikannya namun ternyata nihil hasilnya.Â
berangkat dari cerita tersebut  penulis menilai sebelum kita terlalu jauh merefleksikan reformasi ada hal penting yang penting kita refleksikan yakni kemahasiswaan kita.  Bagaiamana kita sebagai mahasiswa mampu melihat peristiwa 21 tahun lalu tidak hanya tentang sekumpulan mahasiswa yang mati-matian menumbangkan rezim "tangan besi" Soeharto, melainkan mampu mewarisi semangat idealisme mereka yang saat itu memang murni memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Bukan mewarisi semangat opurtunisnya, dimana jalanan yang dipilih untuk melawan kelaliman tak lebih menjadi jalan menuju kekuasaan.  Salam Mahasiswa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H