Apa respon seseorang ketika mendengar kata kematian? Suatu respon ketakutan kah karena akan berpisah dengan dunia yang kita sayangi ini? Atau karena akan meninggalkan orang-orang yang kita sayangi dan harta yang telah begitu lama kita kumpulkan?
Sehebat apapun manusia di dunia ini, secanggih apapun teknologi yang dihasilkan manusia, sepintar apapun manusia, dan sekuat apapun manusia, manusia tetaplah manusia. Ia tetap terikat dengan hukum fisik. Ketika jantung manusia berhenti manusia mati, ketika manusia sulit bernapas ia mati, ketika otaknya hancur ia mati dan berbagai faktor fisik lain yang membayangi manusia dalam suatu ruang bernama kematian.
Apakah manusia tidak menyadari hukum fisik yang mengikat ini? Tentu sebagai makhluk yang cerdas manusia menyadarinya. Bahkan karena manusia menyadarinya ia merasa selalu diawasi olehnya dan merasa enggan untuk meninggalkan dunia.
Berkeliling Melihat Makna Lain Kematian
Pada umumnya memang manusia akan gentar menghadapi kematian, memang suatu kewajaran. Satu orang manusia sepanjang hidupnya bisa meraup berbagai pengalaman, bisa terlibat dalam berbagai interaksi dengan lingkungannya, bisa menghabiskan waktu untuk membahagiakan dirinya dan orang yang dicintainya, maka tak heran jika manusia merasa enggan atau takut untuk menghadapi kematian.
Namun, apakah kematian akan selalu berada dalam kerangka yang menakutkan? Karena dianggap sebagai sebuah peristiwa yang selalu mengendap dalam kesadaran manusia yang bisa merenggut kebahagiaan manusia kapan saja. Apakah selalu identik dengan kematian fisik semata? Dari pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan di atas sebetulnya kita bisa merumuskan pada dua pertanyaan inti, yaitu: apakah kematian akan selalu berwujud menakutkan dan apakah kematian hanya melulu soal fisik. Setelah kita merumuskan dua pertanyaan inti tadi mari sejenak kita "berkeliling" untuk melihat tafsiran yang aga berlainan pada penafsiran umum tentang kematian.
Kita akan mengawali penjelajahan pada pemikiran filsuf bernama Soren Kierkegaard. Seorang filsuf perintis aliran eksistensialis abad ke-19 asal Denmark. Ia berpendapat bahwa "aku" yang eksis hanyalah aku yang hidup secara sadar, tidak hanya mekanis, dan subjektif. Tidak semata-mata keindividuannya tereduksi ke dalam realitas lain seperti masyarakat, ekonomi, gagasan tertentu, ekonomi dan lain-lain. Dalam artian kita tidak mudah terbawa begitu saja dan dikendalikan begitu saja secara mekanis oleh realitas-realitas yang telah disebutkan tadi.
Bagi Kierkegaard ketika manusia tidak mudah untuk dikendalikan dalam bayang-bayang realitas lain selain dirinya maka ia sudah menjadi manusia yang otentik. Bukan menjadi manusia yang sebatas terjebak dalam crowd atau kerumunan, dengan kata lain sebatas mengikuti logika kebanyakan orang. Disinilah pentingnya subjektifitas tadi, ketika kita menimbang-nimbang secara personal sesuatu dengan pertimbangan akal budi, tanpa mudah begitu saja dikendalikan dalam logika kerumunan.
Dalam hal menyikapi kebenaran pun kita dituntut untuk tidak menerima begitu saja kebenaran itu, tapi perlu mempertimbangkan apakah kebenaran ini bisa operatif? Apakah kebenaran yang berguna bagi hidup saya? Atau dengan kata lain kebenaran yang diinternalisasikan. Karena fakta objektif sebanyak apapun tidak akan berguna jika tidak memiliki dimensi praksis. Setelah sedikit mengurai pemikiran Kierkegaard mari kita beranjak untuk menengok diri kita sendiri.
Apakah kita sudah menjadi manusia yang otentik? Dalam arti tidak mudah dikendalikan oleh sesuatu di luar kita tanpa pertimbangan akal budi? Atau jangan-jangan kita masih mudah terjebak dalam logika kerumunan dan hanya mengikuti trend? Jika jawabannya ya, maka secara tidak langsung kita menggiring diri kita menuju kematian, kematian dalam arti eksistensi, bukan kematian fisik.
Manusia sebagai subjek yang sadar, sebagai makhluk yang bisa merujuk pada "aku" memiliki eksistensi yang berbeda dengan benda, binatang, dan tumbuhan. Benda selain manusia hanya memiliki eksistensi yang pasif, dalam arti ketika ia hadir ia hanya tergantung pada keadaan sekitarnya. Laptop tidak bisa berkehendak untuk mengendalikan dirinya sendiri atau menguasai dirinya sendiri, lantas siapa yang bisa berkehendak untuk mengendalikan dan menguasai laptop? Tentu sesuatu selain dan di luar dirinya yaitu manusia.
Mari bandingkan dengan manusia yang memiliki eksistensi aktif, manusia bisa berkendak dan memiliki kuasa untuk mengatur hidupnya, mengendalikan hidupnya, namun apa jadinya jika ia justru lebih banyak dikendalikan oleh sesuatu di luar dirinya. Semisal ia mudah mengikuti trend tertentu tanpa menimbang nilai kemanfaatan, hanya didasarkan karena diikuti oleh banyak orang.Â
Bukankah ia mendekati eksistensi seperti barang, sebagai sebuah eksistensi pasif yang hanya bergerak mengikuti kemauan di luar dirinya. Jika ditafsirkan seacara radikal, maka manusia yang demikian sedang bergerak menuju kematian eksistensi dirinya. Satu pertanyaan telah terjawab bahwa kematian tidak melulu soal kematian fisik.
Pertanyaan kedua apakah kematian akan selalu dalam wujud yang mengerikan? Mari kita berkeliling ke dunia selanjutnya yang dikenal dengan dunia tasawuf. Tokoh tasawuf yang akan disinggung ditulisan ini adalah Jalaluddin Rumi. Tasawuf merupakan salah satu tradisi Islam yang berfokus pada penyucian hati, memperbaiki akhlak sesuai ajaran Islam dan orientasi hidup yang totalitas hanya kepada Allah. Seseorang yang menjalankan laku tasawuf dikenal dengan sebutan sufi.
Rumi sebagai salah seorang sufi memiliki ajaran yang khas dalam tasawufnya. Ketika berbicara pemikiran Rumi, kita akan banyak menemukan terminologi cinta. Tanpa bermaksud mereduksi pemikiran Rumi, ajaran tasawufnya memang berfokus pada cinta. Secara sederhana kita bisa menganalogikan pemikiran Rumi seperti sepasang kekasih. Penghambaannya kepada Allah, ia maknai sebagai relasi cinta.
Layaknya sepasang kekasih yang terjebak dalam hubungan jarak jauh (begitulah isitilah pemuda hari ini), Rumi selalui dihujam oleh rindu untuk bertemu dengan kekasihnya, saking cintanya ia kepada Sang Kekasih yaitu Allah. Dunia merupakan tirai penghalang untuk bertemu dengan Sang Kekasih, karena dalam dunia yang fana ini Rumi hanya bisa merasakan kedekatan dalam bentuk pengalaman spiritual, tanpa pernah melihat Sang Kekasih.
Sekarang bayangkan oleh kita ketika sepasang kekasih yang teramat saling mencintai namun harus terpisah oleh jarak kini akan bertemu. Apa yang kira-kira akan dirasakan? Tentu kebahagiaan yang teramat. Kira-kira apa langkah selanjutnya bagi Rumi untuk mendekati pertemuan dengan Sang Kekasih? Jawabannya adalah kematian.
"Kata Ibrahim kepada Izrail yang akan mencabut nyawanya, "Mungkinkah Sang Khaliq matikan kekasih-Nya?" jawab-Nya: "Apakah kekasih tak mau jumpa kekasihnya?". (Bagir, 2015)Â
Dari puisi itu kiranya kita memaknai bahwa bagi seorang sufi kematian adalah peristiwa menuju pertemuan dengan kekasih yang dicintainya. Sebuah pintu gerbang melepas segala dahaga kerinduan dalam dunia kefanaan. Dari paparan singkat mengenai ajaran Rumi ini kita bisa menyadari bahwa nyatanya ada manusia yang memandang bahwa kematian bukanlah sebuah bentuk menakutkan, justru menuju ruang sejati kebahagiaan.
Pemahaman manusia akan kematian ternyata beragam, tentu ini hanya sebagian kecil yang dipaparkan. Usai sudah perjalanan kita untuk keluar dari pandangan umum tentang kematian. Perjalanan yang sedikit memberikan macam perpesktif memperkaya wawasan. Seperti apa anda memahami kematian? Terjawab oleh perjalanan anda sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H