Mari bandingkan dengan manusia yang memiliki eksistensi aktif, manusia bisa berkendak dan memiliki kuasa untuk mengatur hidupnya, mengendalikan hidupnya, namun apa jadinya jika ia justru lebih banyak dikendalikan oleh sesuatu di luar dirinya. Semisal ia mudah mengikuti trend tertentu tanpa menimbang nilai kemanfaatan, hanya didasarkan karena diikuti oleh banyak orang.Â
Bukankah ia mendekati eksistensi seperti barang, sebagai sebuah eksistensi pasif yang hanya bergerak mengikuti kemauan di luar dirinya. Jika ditafsirkan seacara radikal, maka manusia yang demikian sedang bergerak menuju kematian eksistensi dirinya. Satu pertanyaan telah terjawab bahwa kematian tidak melulu soal kematian fisik.
Pertanyaan kedua apakah kematian akan selalu dalam wujud yang mengerikan? Mari kita berkeliling ke dunia selanjutnya yang dikenal dengan dunia tasawuf. Tokoh tasawuf yang akan disinggung ditulisan ini adalah Jalaluddin Rumi. Tasawuf merupakan salah satu tradisi Islam yang berfokus pada penyucian hati, memperbaiki akhlak sesuai ajaran Islam dan orientasi hidup yang totalitas hanya kepada Allah. Seseorang yang menjalankan laku tasawuf dikenal dengan sebutan sufi.
Rumi sebagai salah seorang sufi memiliki ajaran yang khas dalam tasawufnya. Ketika berbicara pemikiran Rumi, kita akan banyak menemukan terminologi cinta. Tanpa bermaksud mereduksi pemikiran Rumi, ajaran tasawufnya memang berfokus pada cinta. Secara sederhana kita bisa menganalogikan pemikiran Rumi seperti sepasang kekasih. Penghambaannya kepada Allah, ia maknai sebagai relasi cinta.
Layaknya sepasang kekasih yang terjebak dalam hubungan jarak jauh (begitulah isitilah pemuda hari ini), Rumi selalui dihujam oleh rindu untuk bertemu dengan kekasihnya, saking cintanya ia kepada Sang Kekasih yaitu Allah. Dunia merupakan tirai penghalang untuk bertemu dengan Sang Kekasih, karena dalam dunia yang fana ini Rumi hanya bisa merasakan kedekatan dalam bentuk pengalaman spiritual, tanpa pernah melihat Sang Kekasih.
Sekarang bayangkan oleh kita ketika sepasang kekasih yang teramat saling mencintai namun harus terpisah oleh jarak kini akan bertemu. Apa yang kira-kira akan dirasakan? Tentu kebahagiaan yang teramat. Kira-kira apa langkah selanjutnya bagi Rumi untuk mendekati pertemuan dengan Sang Kekasih? Jawabannya adalah kematian.
"Kata Ibrahim kepada Izrail yang akan mencabut nyawanya, "Mungkinkah Sang Khaliq matikan kekasih-Nya?" jawab-Nya: "Apakah kekasih tak mau jumpa kekasihnya?". (Bagir, 2015)Â
Dari puisi itu kiranya kita memaknai bahwa bagi seorang sufi kematian adalah peristiwa menuju pertemuan dengan kekasih yang dicintainya. Sebuah pintu gerbang melepas segala dahaga kerinduan dalam dunia kefanaan. Dari paparan singkat mengenai ajaran Rumi ini kita bisa menyadari bahwa nyatanya ada manusia yang memandang bahwa kematian bukanlah sebuah bentuk menakutkan, justru menuju ruang sejati kebahagiaan.
Pemahaman manusia akan kematian ternyata beragam, tentu ini hanya sebagian kecil yang dipaparkan. Usai sudah perjalanan kita untuk keluar dari pandangan umum tentang kematian. Perjalanan yang sedikit memberikan macam perpesktif memperkaya wawasan. Seperti apa anda memahami kematian? Terjawab oleh perjalanan anda sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H