Manusia sebagai subjek yang sadar tekurung dalam aturan untuk selalu berhubungan dengan objek di luar dirinya. Dengan kesadaran itulah manusia mulai hidup dalam dunia yang penuh tarikan, acak, dan tidak mudah untuk ditebak. Dunia semacam itulah yang kelak sebagian sisinya akan bertransformasi menjadi penderitaan.
Penderitaan bisa disebabkan oleh banyak hal, dan juga ada yang menyentuh fisik atau menyentuh psikis, tidak jarang bahkan menyentuh keduanya. Sebuah pertanyaan besar muncul, dari mana asal penderitaan itu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita akan mulai membedah konsep pemikiran milik filsuf bernama Arthur Schopenhuer. Â Dalam pemikirannya subjek dan objek selalu eksis bersamaan dalam realitas sebagai relasi, yang biasa disebut sebagai fenomena. Ketika seseorang yang berkesadaran mencoba memahami objek di luar dirinya, misal ketika ia memahami laptop, handphone, uang, benda-benda lain maka proses relasi subjek-objek itulah yang disebut fenomena. Dari sisi ini Schopenhuer memang terpengaruh oleh pemikiran Kant.
Dibalik relasi subjek-objek tadi terdapat kehendak metafisis yang mendasarinya. Dari pijakan ini, akan terlihat pretensi memandang dunia sebagai sumber penderitaan. Â Mengapa kehendak bisa menjadi sumber penderitaan, bahkan menciptakan pandangan dunia ini penuh penderitaan? Singkatnya, karena ketika kehendak yang kemudian menjadi keinginan tidak terpenuhi disitulah penderitaan muncul.
Dalam kenyataannya merupakan sesuatu yang niscaya bahwa manusia terus menerus memiliki kehendak akan sesuatu. Konsekuensinya, Schopenhuer mengatakan sejatinya dunia ini terstruktur oleh penderitaan yang universal.
Meskipun Schopenhuer tidak secara khusus memberikan pandangannya tentang kehidupan di abad 21 karena memang beliau hidupnya tidak sampai saat ini, tapi menurut saya relevansi pemikirannya semakin kuat di masa ini. Kehidupan ekonomi dewasa ini, berubah dari mode produksi menjadi mode konsumsi dan mode manfaat berubah menjadi mode simbol, yang akibatnya melahirkan banyak produk makanan, kosmetik, minuman, pakaian, budaya populer dll. Kenyataan demikian lah yang bagi saya merangsang manusia untuk terus-menerus memiliki kehendak atau keinginan, disini letak relevansi pemikiran Schopenhuer.
Menikmati makanan di restoran mahal atau di cafe rasanya lebih keren dibandingkan di angkringan, masih memiliki satu barang yang bagus namun kita merasa itu belum cukup dan akhirnya membeli barang lagi.Â
Singkatnya, pemilik kapital memang membentuk kita untuk selalu merasa kurang dan membentuk manusia untuk selalu berkeinginan akan sesuatu, khususnya keinginan materi. Lalu apakah kita yakin semua keinginan itu akan terwujud? Tentunya tidak, dan biasanya kita mudah menderita ketika keinginan itu tidak terpenuhi.
Kita bekerja keras mengakumulasikan kapital sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kehendak kita, ketika kehendak terpenuhi lantas bahagialah kita. Jika ditengok lebih jauh, absurditas muncul disaat-saat kehendak sudah terpenuhi.Â
Dikatakan absurditas karena ketika kita mencapai kebahagiaan, kebahagiaan yang dirasakan tak jarang hanya sementara dan membosankan. Bisa kita analogikan dengan mitos sisifus milik Camus.Â
Sisifus seorang dewa yang dihukum mendorong batu hingga ke puncak kemudian batu tersebut kembali menggelinding ke bawah dan ia kembali mendorongnya hingga ke puncak, siklus itu terus berlanjut seumur hidupnya.
Ketika mencapai satu tujuan kita merasa teramat bahagia, kemudian tak lama kebahagiaan itu hilang dan kita kembali lagi berkehendak untuk mencapai tujuan lainnya.Â
Kehendak melahirkan keinginan dan tak semua keinginan bisa tercapai, lahirlah penderitaan, terus menerus kita terjebak dalam siklus itu, sebuah hidup yang absurd!. Membukakan mata tentang stuktur hidup yang menderita dan menyuguhkan pesimisme universal.
PENEGASIAN DUNIA DAN KEBEBASAN
Karena terjebak dalam siklus hidup yang cenderung menderita, bukan berarti tidak ada celah untuk keluar darinya. Karena manusia bukan binatang yang hidup mekanis dibawah kendali instingtif. Manusia sebagai subjek berkesadaran bisa mengambil 'celah' untuk keluar dari siklus yang mengikatnya.
Kehendak yang membentuk siklus penderitaan tadi bisa ditaklukkan dengan cara mengontrolnya, solusi sederhana berkata demikian. Dalam bentuk terminologi yang lebih ekstrem kita bisa melakukan sebuah tindakan penegasian dunia atau penolakan terhadap dunia.Â
Penegasian dunia mengarah ke aktivitas sufistik, karena mengontrol kehendak-kehendak yang membelenggu kita. Â Menolak dunia bukan berarti membuangnya secara keseluruhan, namun dalam artian mempersempit keinginan.Â
Ketika itu berhasil maka akan tiba pada satu keadaan  nothingness (ketiadaan) dan bagi Schopenhuer keadaan ini menimbulkan kebahagiaan yang tidak sementara, kebahagiaan yang lebih baik. Dalam bahasa yang lebih religus konsep ini disebut tidak cinta duniawi.
Untuk sampai kepada proses itu perlu mengerahkan seluruh kemampuan fisik dan batin, fisik dan batin kita akan ditempa dengan pendidikan kesederhanaan. Sayangnya tidak semua orang bisa sampai pada titik itu.
Satu lagi celah yang bisa dipertimbangkan adalah salah satu aset berharga manusia yaitu kebebasan. Kebebasan mengandaikan manusia yang berkesadaran. Kesadaran ini yang merupakan ciri khas eksisnya seorang manusia dibandingkan dengan makhluk dan benda lain. Benda selain manusia dikatakan "ada pada dirinya sendiri" dalam artian ia pasif dan tidak berkesadaran. Sedangkan manusia "ada untuk dirinya sendiri" dalam artian aktif berkesadaran, kesadaran ini kosong, yang digunakan untuk "mengisi" dan "menjadi".
Modal manusia yang "ada bagi dirinya sendiri" berguna untuk pemaknaan terus menerus guna menghadapi dinamika kehidupan, salah satunya adalah siklus kehendak tadi.Â
Terkait kehendak yang tidak tercapai, alih-alih merasa menderita, ia akan mengisinya dengan pemaknaan dan menjadi suatu makna lain. Semakin seorang banyak berkehendak dan berkeinginan, semakin banyak juga ia harus memberi pemaknaan.
Solusi ini cenderung kontradiktif dengan solusi pertama, karena masih memiliki kemungkinan untuk cinta dengan segala hiruk pikuk dunia dan berhasrat untuk memilikinya, alih-alih menegasikan dunia.
Dengan segala keacakan dan ke-absurdan-nya , bukan berarti dunia ini tidak layak ditinggali. Stuktur penderitaan yang dipaparkan, jelas hanya mewakili sebagian wajah realitas dibanding segala keindahannya, apalagi jika ditambah sisi pemaknaan subjektivitas. Selamat memaknai dunia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H