Mohon tunggu...
Albi Abdullah
Albi Abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Ex Philosophia Claritas

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Teologi Pembebasan Hassan Hanafi: Titik Temu Islam dan Marxisme?

29 Desember 2019   16:25 Diperbarui: 29 Desember 2019   16:23 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama hadir sebagai wahyu Tuhan di dalamnya terkandung sistem kepercayaan atau sistem keimanan, kebudayaan dan cara pandang agama tersebut terhadap realitas. Agama menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas sebagai upaya terjadinya revolusi akhlak. Dalam agama tidak hanya diperintah untuk sekedar melaksanakan ritual keagamaan yang berorientasi kepada Tuhan, ada ibadah lain yang berorientasi kepada dimensi sosial. Ibadah yang berorientasi kepada Tuhan dan yang berorientasi kepada dimensi sosial harus berjalan beriringan dan seimbang. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan saling memiliki keterkaitan.

Namun yang terjadi di era modern adalah justru kepincangan menjalankan agama nampak terlihat jelas. Buktinya masih banyak ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, nilai kemanusiaan yang mulai menghilang  bahkan eksploitasi manusia demi meraup keuntungan semata. Padahal lembaga keagamaan menjamur dimana-mana, agenda kajian keagamaan sudah sering dilakukan namun belum terlihat dampak yang nyata dalam transformasi sosial. Tentu permasalahannya bukan ajaran agamanya, tetapi para pemuka agama yang kurang peka akan realitas, sudah seharusnya dan memang semestinya agama dijadikan alat transformasi sosial.

Pemuka agama perlu mengkaji ayat-ayat yang nilai praksisnya bisa berdampak langsung pada transformasi sosial. Rasulullah suri tauladan umat Islam telah menunjukkan bagaimana keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial.

PROYEK TEOLOGI PEMBEBASAN

Hassan Hanafi memulai proyek teologi pembebasannya dengan meletakkan epistemologi bernama turas (dibaca : turos). Turas adalah suatu dasar argumentasi yang diberikan oleh generasi sebelumnya yang bertujuan untuk membentuk cara berpikir generasi mendatang. Turas yang disinggung oleh Hassan Hanafi adalah perihal aqidah. Generasi ulama terdahulu ketika mengkaji aqidah lebih sering membahas zat Tuhan, kuasa mutlak Tuhan, apakah manusia berkehendak bebas atau sepenuhnya dikendalikan Tuhan dan upaya-upaya  rasionalisasi lainnya tentang ketuhanan.

Pembahasan semacam itu memang perlu karena Islam baru muncul ke peradaban dan sedang merintis eksistensinya, ditambah pada saat zaman terdahulu para teolog Kristen sedang gencar-gencarnya melakukan rasionalisasi dalam teologi mereka. Para ulama terdahulu pun tak ingin kalah agar umat Islam tetap mempertahankan keimanannya dengan argumentasi yang rasional. Tapi jika kita melihat konteks zaman sekarang, perlu adanya reorientasi teologi yang disesuaikan dengan konteks zaman. Yang menjadi permasalahan krusial bagi umat muslim adalah penjajahan dan penindasan di berbagai sektor sosial dan kemanusiaan, seperti ketidakadilan ekonomi, pelanggaran HAM, penindasan buruh, perampasan hak-hak rakyat dan seterusnya.

Rekonstruksi teologi perlu dilakukan, teologi bukan hanya sebatas membahas hal-hal yang sifatnya langit, tetapi dibutuhkan teologi yang realistis serta dijadikan sebuah basis gerakan sejarah untuk mengentaskan kemiskinan dan pembebasan dari sebuah penindasan. Tuhan bukan lagi sebuah pokok bahasan yang harus selalu dibahas dan diperdebatkan hakikatnya, cukup imani saja dan dijadikan sebagai puncak dan orientasi dari segala implementasi keimanan.

Konsep Tuhan  perlu diarahkan agar tidak selalu mengacu pada hal yang sifatnya metafisik, tetapi sesuatu yang erat kaitannya dengan eksistensi manusia di bumi. Misalnya ketika kita berjuang membela hak-hak manusia, menegakan keadilan, membantu kaum kurang beruntung, memperjuangkan hak-hak kemerdekaan kita sebagai manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan seterusnya maka itu dapat dikatakan sebagai konsep ketuhanan yang erat kaitannya dengan eksistensi manusia atau kita sebut teologi pembebasan.

Dengan demikian menguji validitas keimanan seseorang tidak perlu dengan argumen spekulatif tentang Tuhan tetapi dilihat dari gerakan empiris pembebasan. Diskursus semacam ini perlu ditingkatkan intensitasnya bahkan dijadikan sebagai skala prioritas utama. Ketika sebuah aqidah atau keyakinan menjadi titik awal sebuah transformasi sosial, sebuah gerakan pembebasan maka disitulah Tuhan ada. Bahkan Tuhan dalam Al Qur'an menjadikan manusia sebagai khalifah atau pemimpin kemudian dibekali dengan akal agar manusia dapat menyelesaikan segala problematika di dunia ini. Jadi agama bukan hanya sekedar ritus kepercayaan dan ritus peribadatan tetapi sebuah gerakan sosial.

Lalu adakah korelasinya dengan Marxisme? Jika anda pernah menjelajahi pikiran Marx tentu hal-hal yang disebutkan di atas tadi beriringan dengan pikirannya. Sejatinya Islam melalui Al Qur'an dan hadits banyak memperingatkan agar kita selalu membantu orang-orang yang kurang mampu, atau bahkan Islam dengan konsep zakatnya mencegah terjadinya penimbunan kekayaan yang sangat dibenci oleh Marx. Transformasi sosial juga merupakan hal yang didambakan oleh Marx hanya saja cara yang dilakukan mungkin berbeda tetapi disini saya ingin lebih banyak menunjukkan kesamaannya.

Jika dalam teori ekonomi determinismenya Marx mengatakan bahwa ekonomi merupakan fondasi dasar untuk menjamin bangunan diatasnya seperti politik, budaya, agama, maka dalam teologi pembebasan, aqidahlah yang menjadi fondasi dasar untuk bangunan diatasnya.

Hassan Hanafi memang menyebutkan bahwa ia mengambil semangat nilai praksis Marxisme untuk merealisasikan tujuannya, tidak hanya sekedar teori untuk melakukan perubahan tetapi diiringi praktek. Pepatah Arab pernah mengatakan "ilmu tanpa amal bagai pohon tak berbuah".

Soekarno dalam konsep Marhaenisme nya meraih simpati kaum Marxis yang sama-sama anti kolonial anti barat. Begitupun Hassan Hanafi, dengan proyek oksidentalisme ia menjukan watak anti baratnya. Oksidentalisme adalah kajian tentang dunia barat dari segala aspeknya.

Oksidentalisme membongkar slogan-slogan barat seperti liberalisme, kapitalisme, dan  rasionalisme yang sebagian ditentang juga oleh kaum Marxis.Dengan paham liberalisme dan rasionalismenya, barat dengan mudah menghegemoni bangsa timur dengan propaganda bahwa timur banyak dipenuhi oleh sifat-sifat takhayul. Implikasinya adalah, menghasilkan wajah kolonialisme baru yang semula eksploitasi fisik kini berubah menjadi eksploitasi pikiran, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.

Struktur sosial kita terhegemoni seolah bahwa yang superior adalah barat yang semata-mata mata benar adalah barat. Sistem ekonomi kita akhirnya samar-samar terlihat seperti kapitalis atau bahkan sudah menjadi kapitalis. Kapitalisme tidak pernah sesuai dengan ajaran Islam, Islam melarang penimbunan kekayaan, Islam memerintahkan untuk selalu berbagi bila mempunyai kelebihan materi, bahkan wajib melakukannya setahun sekali. Dalam upaya merealisasikan keadilan Islam memiliki semangat yang sama dengan kaum Marxis, sama-sama berontak terhadap kapitalisme.

Oksidentalisme hadir bukan tanpa alasan, melainkan sebagai antitesis orientalisme. Dengan orientalismenya barat kerap kali menjadikan timur sebagai objek kajian dan sebagai bangsa inferior, sehingga tak jarang muncul berbagai stigma buruk tentang dunia timur. Jika kita lacak kembali epistemologi rasionalisme yang diagungkan barat yang berasaskan semangat demitologisasi, justru sekarang malah menjadi mitos baru apalagi dengan semakin berkembangnya sains modern. Rasionalitas hanya sebatas mengkaji fakta tidak sampai pada esensinya maka tak jarang yang ada hanya melahirkan dehumanisasi.

Ada baiknya kita menjalankan agama secara 'kaffah' secara keseluruhan, tidak sebatas pada ritus peribadatan tetapi ritus peribadatan sosial supaya terhindar dari kepincangan keagamaan. Mewujudkan keadilan dan kesejahteraan merupakan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah. Jika agama dijalankan semacam ini Karl Marx akan berpikir kembali prinsipnya yang mengatakan bahwa agama adalah candu. Islam adalah agama yang menyentuh segala kompleksitas kehidupan, tinggal kita yang menghidupkan gairahnya.

Dalam tulisan ini juga saya menawarkan perspektif baru bahwanya Islam bukan agama yang kaku, jika kita melacaknya justru masih banyak kesamaan antara Islam dan Marxis, meskipun deras stigma yang beredar bahwa kaum Marxis adalah anti agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun