Agama hadir sebagai wahyu Tuhan di dalamnya terkandung sistem kepercayaan atau sistem keimanan, kebudayaan dan cara pandang agama tersebut terhadap realitas. Agama menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas sebagai upaya terjadinya revolusi akhlak. Dalam agama tidak hanya diperintah untuk sekedar melaksanakan ritual keagamaan yang berorientasi kepada Tuhan, ada ibadah lain yang berorientasi kepada dimensi sosial. Ibadah yang berorientasi kepada Tuhan dan yang berorientasi kepada dimensi sosial harus berjalan beriringan dan seimbang. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan saling memiliki keterkaitan.
Namun yang terjadi di era modern adalah justru kepincangan menjalankan agama nampak terlihat jelas. Buktinya masih banyak ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, nilai kemanusiaan yang mulai menghilang  bahkan eksploitasi manusia demi meraup keuntungan semata. Padahal lembaga keagamaan menjamur dimana-mana, agenda kajian keagamaan sudah sering dilakukan namun belum terlihat dampak yang nyata dalam transformasi sosial. Tentu permasalahannya bukan ajaran agamanya, tetapi para pemuka agama yang kurang peka akan realitas, sudah seharusnya dan memang semestinya agama dijadikan alat transformasi sosial.
Pemuka agama perlu mengkaji ayat-ayat yang nilai praksisnya bisa berdampak langsung pada transformasi sosial. Rasulullah suri tauladan umat Islam telah menunjukkan bagaimana keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial.
PROYEK TEOLOGI PEMBEBASAN
Hassan Hanafi memulai proyek teologi pembebasannya dengan meletakkan epistemologi bernama turas (dibaca : turos). Turas adalah suatu dasar argumentasi yang diberikan oleh generasi sebelumnya yang bertujuan untuk membentuk cara berpikir generasi mendatang. Turas yang disinggung oleh Hassan Hanafi adalah perihal aqidah. Generasi ulama terdahulu ketika mengkaji aqidah lebih sering membahas zat Tuhan, kuasa mutlak Tuhan, apakah manusia berkehendak bebas atau sepenuhnya dikendalikan Tuhan dan upaya-upaya  rasionalisasi lainnya tentang ketuhanan.
Pembahasan semacam itu memang perlu karena Islam baru muncul ke peradaban dan sedang merintis eksistensinya, ditambah pada saat zaman terdahulu para teolog Kristen sedang gencar-gencarnya melakukan rasionalisasi dalam teologi mereka. Para ulama terdahulu pun tak ingin kalah agar umat Islam tetap mempertahankan keimanannya dengan argumentasi yang rasional. Tapi jika kita melihat konteks zaman sekarang, perlu adanya reorientasi teologi yang disesuaikan dengan konteks zaman. Yang menjadi permasalahan krusial bagi umat muslim adalah penjajahan dan penindasan di berbagai sektor sosial dan kemanusiaan, seperti ketidakadilan ekonomi, pelanggaran HAM, penindasan buruh, perampasan hak-hak rakyat dan seterusnya.
Rekonstruksi teologi perlu dilakukan, teologi bukan hanya sebatas membahas hal-hal yang sifatnya langit, tetapi dibutuhkan teologi yang realistis serta dijadikan sebuah basis gerakan sejarah untuk mengentaskan kemiskinan dan pembebasan dari sebuah penindasan. Tuhan bukan lagi sebuah pokok bahasan yang harus selalu dibahas dan diperdebatkan hakikatnya, cukup imani saja dan dijadikan sebagai puncak dan orientasi dari segala implementasi keimanan.
Konsep Tuhan  perlu diarahkan agar tidak selalu mengacu pada hal yang sifatnya metafisik, tetapi sesuatu yang erat kaitannya dengan eksistensi manusia di bumi. Misalnya ketika kita berjuang membela hak-hak manusia, menegakan keadilan, membantu kaum kurang beruntung, memperjuangkan hak-hak kemerdekaan kita sebagai manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan seterusnya maka itu dapat dikatakan sebagai konsep ketuhanan yang erat kaitannya dengan eksistensi manusia atau kita sebut teologi pembebasan.
Dengan demikian menguji validitas keimanan seseorang tidak perlu dengan argumen spekulatif tentang Tuhan tetapi dilihat dari gerakan empiris pembebasan. Diskursus semacam ini perlu ditingkatkan intensitasnya bahkan dijadikan sebagai skala prioritas utama. Ketika sebuah aqidah atau keyakinan menjadi titik awal sebuah transformasi sosial, sebuah gerakan pembebasan maka disitulah Tuhan ada. Bahkan Tuhan dalam Al Qur'an menjadikan manusia sebagai khalifah atau pemimpin kemudian dibekali dengan akal agar manusia dapat menyelesaikan segala problematika di dunia ini. Jadi agama bukan hanya sekedar ritus kepercayaan dan ritus peribadatan tetapi sebuah gerakan sosial.
Lalu adakah korelasinya dengan Marxisme? Jika anda pernah menjelajahi pikiran Marx tentu hal-hal yang disebutkan di atas tadi beriringan dengan pikirannya. Sejatinya Islam melalui Al Qur'an dan hadits banyak memperingatkan agar kita selalu membantu orang-orang yang kurang mampu, atau bahkan Islam dengan konsep zakatnya mencegah terjadinya penimbunan kekayaan yang sangat dibenci oleh Marx. Transformasi sosial juga merupakan hal yang didambakan oleh Marx hanya saja cara yang dilakukan mungkin berbeda tetapi disini saya ingin lebih banyak menunjukkan kesamaannya.
Jika dalam teori ekonomi determinismenya Marx mengatakan bahwa ekonomi merupakan fondasi dasar untuk menjamin bangunan diatasnya seperti politik, budaya, agama, maka dalam teologi pembebasan, aqidahlah yang menjadi fondasi dasar untuk bangunan diatasnya.