Mohon tunggu...
Albert Wijaya
Albert Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Follow my Twitter : @daridebubintang

Follow my Twitter : @daridebubintang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Seorang Millenial: Soe Hok Gie (Otentisitas, Keberanian Hidup, dan Gunung)

15 November 2018   14:12 Diperbarui: 3 Juli 2019   22:50 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soe Hok Gie adalah sebuah nama yang legendaris di kalangan aktivis-aktivis mahasiswa khususnya pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru. Gie adalah salah satu akvitis mahasiswa di tahun 65 an yang punya andil cukup besar dalam memberi tekanan pada pemerintahan Soekarno yang waktu itu dianggap mulai melenceng dari cita-cita besar kemerdekaan Indonesia. Harga-harga bahan pangan serta angkutan umum yang melonjak naik membuat rakyat menjerit kala itu.

 Hal ini diperparah dengan peristiwa G30SPKI pada September 1965 yang diduga kuat diinisiasi oleh PKI. Demonstrasi besar-besaran terjadi di Jakarta dan mahasiswa menjadi motor utama dalam menyuarakan gerakan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) yang menuntut pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora dan turunkan harga pangan. Tidak lama kemudian orde lama pun tumbang dan digantikan dengan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. 

Gie yang punya julukan sebagai eternal oppositionist, tetap memilih berada di luar pemerintahan di saat banyak di antara rekan-rekan mahasiswa seperjuangannya yang dirangkul oleh orde baru untuk masuk ke parlemen dan menduduki kursi wakil rakyat. Gie yang adalah mahasiswa Jurusan Sejarah di Universitas Indonesia tetap kritis dan menyuarakan apa yang dianggapnya benar dan salah pada masa orde baru. 

Tidak jarang rekan-rekan mahasiswanya yang telah menjadi bagian pemerintahan mendapatkan kritik dan cacian pedas karena dianggap telah lupa diri karena hanyut dalam kenyamanan kuasa. 

Gie sendiri pernah mengirim peralatan make up berupa lipstik, bedak dan cermin kepada rekan-rekan aktivis mahasiswa yang telah duduk di parlemen Orde Baru. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk sindiran agar mereka bisa berdandan dan tambah cantik di hadapan penguasa. Gie kecewa dengan teman-teman seangkatannya dianggap telah melupakan rakyat. 

Jejak perjuangan dan aktivisme Soe Hok Gie memang tidak panjang, karena Gie sendiri mati di usia yang sangat muda yaitu 26 tahun. Gunung Semeru menjadi tempat Gie menghembuskan nafas terakhirnya karena menghirup gas beracun di kawah gunung tersebut saat sedang naik gunung bersama teman-temannya.

Saya secara pribadi baru "mengenal" sosok seorang Soe Hok Gie pada tahun ini ketika membaca catatan hariannya dalam "Catatan Seorang Demonstran" yang diterbitkan oleh LP3ES. Setelah selesai membaca buku ini saya sebagai generasi millennial sungguh sangat kagum dengan sosok yang satu ini. 

Ada banyak sekali nilai-nilai yang dapat dipelajari oleh para generasi muda dari seorang Soe Hok Gie. Salah satu nilai dan sifat yang paling menonjol dalam diri Gie adalah otentisitas dan keberaniannya. Gie sejak masa sekolahnya terbiasa untuk menyampaikan apa yang menjadi pemikirannya dengan penuh keberanian dan percaya diri. 

Gie tampil sebagaimana adanya dirinya tanpa dipoles-poles supaya orang lain senang. Tidak jarang sifatnya ini memang menimbulkan konfrontasi dengan banyak pihak yang tidak suka dengan gayanya yang tanpa tedeng aling aling dan tanpa kompromi terhadap apa yang dinilainya tidak benar. Selain itu Gie juga dikenal dengan keberaniannya dalam membela yang menurutnya benar. Pada masa itu menjadi orang yang vokal dalam mengkritik kebijakan pemerintah, bukanlah sesuatu yang tanpa risiko. 

Gie tanpa kompromi selalu menyuarakan lewat tulisan-tulisan mengenai apa yang menurutnya sedang tidak beres tanpa peduli dirinya akan dibenci dan mendapatkan masalah. Dalam kata pengantarnya untuk buku ini, Daniel Dhakidae dengan tepat menyimpulkan apa penyebab yang membuat setiap kita yang membaca kisah hidup Gie akan menjadi kagum kepada sosok yang satu ini. 

Daniel mengatakan bahwa kekaguman kita sendiri menunjukkan realitas bahwa nilai yang kita kagumi itu sudah pudar dalam diri kita. Kita rindu kepada keaslian, kejujuran, orisinalitas, spontanitas, keberanian, rasa keadilan dan kebenaran karena jarak kita begitu jauh dari nilai-nilai tersebut. Kerinduan akan semakin besar ketika jarak antara kita dan nilai-nilai itu  makin jauh. 

Ya, otentisitas dan keberanian untuk menyuarakan yang benar tanpa kompromi adalah hal yang langka dalam kehidupan kita hari ini. Kita lebih suka memoles diri kita supaya disukai orang lain. Kita lebih suka berdiam diri terhadap ketidakadilan yang sedang terjadi karena tidak mau terlibat dalam risiko yang akan menggangu keamanan dan kenyamanan kita.Kita bahkan lebih suka mengkompromikan kebenaran agar kita terhindar dari konfrontasi. Kiranya keberanian dan otentisitas Soe Hok Gie boleh menjadi panutan bagi kita sebagai generasi muda penerus bangsa.

Satu hal lagi yang menurut saya dapat dipelajari dan diteladani dari kisah hidup seorang Soe Hok Gie adalah kecintaannya terhadap naik gunung dan puisi. Bagi kita para millennial yang hidup di era Industry 4.0, teknologi, media sosial, online shopping, jalan-jalan ke mall dan ngopi di tempat yang hits dan cozy adalah hal-hal yang telah menjadi denyut nadi kita yang hidup di kota besar setiap hari. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu karena zaman berubah dan kita harus senantiasa menyesuaikan diri dengannya. 

Namun yang bisa kita pelajari dari Gie adalah bahwa dunia ini bukan hanya tentang media sosial, mall dan tempat-tempat nongkrong yang cozy. Sangat sayang kalau masa muda kita hanya dihabiskan untuk hal-hal tersebut saja. Gie memang adalah seorang yang kecanduan untuk naik gunung. Dia bersama beberapa rekan-rekannya adalah penggagas dan pendiri Mapala di Universitas Indonesia. Berbagai puncak gunung di Pulau Jawa telah ditaklukkan oleh Gie dan koleganya. 

Di gunung pulalah, sisi-sisi romantisme dan sastra Gie meluap lewat puisi-puisi indah yang ditulisnya. Saya sendiri adalah pemula dalam soal mendaki gunung. Baru Gunung Papandayan dan Gede yang pernah saya coba daki. Namun saya sendiri merasakan bahwa naik gunung memang dapat menimbulkan kecanduan. Selain itu ada banyak nilai-nilai yang saya pelajari ketika naik gunung. Dengan naik gunung saya dapat mengagumi Pencipta saya lebih lagi. 

Di hadapan lembah-lembah yang megah saya menyadari betapa kecilnya saya di semesta ini. Memandangi langit malam di luar tenda yang dipenuhi jutaan (atau bahkan miliaran) bintang membuat hati saya kagum sekaligus hangat karena menyadari bahwa hidup saya yang begitu kecil dibandingkan luasnya jagat raya ini berarti dan berharga di hadapan Pencipta jagat raya ini. Naik gunung juga mengajarkan kepada saya tentang solidaritas, keberanian, kerja sama, persahabatan dan bahkan pengorbanan. 

Naik gunung bukanlah pekerjaan seorang diri melainkan kerja sama seluruh anggota pendakian. Saya sangat menyarankan kepada para generasi millennial yang membaca tulisan ini agar mencoba untuk mendaki gunung setidaknya sekali dalam seumur hidup. Karena di gunung kita bisa belajar banyak hal yang tidak kita dapatkan di tempat lainnya.

Saya mengakhiri tulisan ini dengan sepenggal bait dari puisi Soe Hok Gie yang berjudul Mandalawangi-Pangrango :

"Hidup adalah soal keberanian

Menghadapi yang tanda tanya

Tanpa kita bisa mengerti, Tanpa bisa kita menawar

Terimalah, dan hadapilah"

15 November 2018

Oleh Albert Wijaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun