Mohon tunggu...
Albert Tarigan
Albert Tarigan Mohon Tunggu... -

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Revolusi Twitter?

2 Februari 2011   06:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“The Internet lets us exploit the power of these kinds of distant connections with marvellous efficiency. It’s terrific at the diffusion of innovation, interdisciplinary collaboration, seamlessly matching up buyers and sellers, and the logistical functions of the dating world. But weak ties seldom lead to high-risk activism.”

Selanjutnya, Gladwell menyimpulkan, instrumen media sosial sangat cocok untuk membuat tantanan sosial yang telah ada menjadi lebih efisien. Tetapi, media sosial bukanlah musuh alami status quo.

Jejaring sosial efektif meningkatkan partisipasi dengan menurunkan tingkat motivais yang yang dibutuhkan partisipasi itu sendiri.

Gadwell mencontohkan, grup Facebook “Save Darfur Coalition” beranggotakan 1.282.339 menyumbangkan masing-masing rata-rata sembilan sen. Badan amal untuk Darfur terbesar berikutnya di Facebook beranggotakan 22.073 orang telah menyumbangkan rata-rata 35 sen. Dan grup “Help Save Darfur” dengan anggota 2.797 orang menyumbang rata-rata 15 sen. Dengan kata lain, aktivisme Facebook berhasil bukan dengan memotivasi orang untuk melakukan pengorbanan yang sesungguhnya tetapi dengan memotivasi mereka untuk melakukan hal-hal yang dilakukan orang lain ketika mereka tak punya cukup motivasi untuk melakukan pengorbanan yang sesungguhnya.

Kasus ini mirip dengan dengan Gerakan Sejuta Facebooker Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang diprakarsai Usman Yasin tanggal 29 Oktober 2009. Gerakan ini dipicu penahanan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif ketika itu oleh Mabes Polri karena diduga menyalahgunakan wewenang.

Pada tanggal 9 November, pendukung gerakan itu sudah melampaui target yakni 1.122.150 orang. Keberhasilan tersebut tak terlepas dari ekspos besar-besaran oleh media mainstream baik cetak maupun elektronik yang konsisten memberitakan grup itu setiap hari berbarengan dengan aksi-aksi lain dengan motivasi sama di dunia nyata. Dalam hal ini, media sosial dan media mainstream saling terkait dan mendukung.

Agaknya inilah yang membedakan, posisi Twitter dan Facebook di Amerika Serikat, Indonesia dan negara-negara demokratis yang menjamin kemerdekaan pers dengan negara-negara otoriter dimana penguasa mengontrol sepenuhnya pers seperti di Tunisia dan Mesir hari ini. Di negara otoriter, media sosial tampil sebagai alternatif untuk menyebarluaskan informasi dan kejadian yang dialami para aktivis di jalanan karena media mainstream sebagai saluran utama tak bisa diakses. Para aktivis di kedua negara itu misalnya, bisa saja bicara soal hak asasi manusia, atau mengunggah foto-foto pemukulan demonstran oleh polisi melalui jejaring sosial untuk membangkitkan simpati dan syukur-syukur dukungan nyata masyarakat nasional dan internasional. Dalam konteks Indonesia, ini seperti penerbitan buletin dan pamflet bawah tanah yang dilakukan aktivis pada masa orde baru untuk mengkritik kebijakan Soeharto.

Tapi apakah aksi protes ribuan orang dengan turun ke jalan di berbagai daerah di Indonesia memprotes penahanan Bibit dan Chandra ketika itu bisa diperas dalam satu kesimpulan bahwa itu Revolusi Facebook?

Gladwell benar. Terlalu berlebihan menyebut gerakan itu sebagai Revolusi Facebook. Kenyataanya, mereka yang turun ke jalan sebagian besar justru berasal dari aktivis tradisional yang tergabung dalam organisasi dengan ikatan kuat, sruktur jelas dan melancarkan protes bukan karena faktor spontanitas melainkan terencana dan terukur. Contohnya dari Himpunan Mahasiswa Islam, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Gerakan Indonesia Bersih, Indonesia Corruption Watch, Transparansi Internasional Indonesia dan puluhan organisasi dengan ikatan kuat lainnya.

Sedangkan mereka yang benar-benar mengtasnamakan Facebookers pendukung Bibit dan Chandra hanya segelintir orang dengan intensitas dan variasi aksi jauh di bawah aktivis tradisional. Padahal, jumlah Facebookers yang tergabung melampaui sejuta. Inilah yang disebut Gladwell keberhasilan Facebook menggalang orang melakukan hal-hal yang dilakukan orang lain yakni dengan mengklik tombol bergabung dengan grup Facebookers Pendukung Bibit dan Chandra karena mereka tak punya motivasi cukup untuk bergabung dengan aktivisme sesungguhnya di jalanan.

Lemahnya motivasi ini semakin terbukti manakala Gerakan Sejuta Facebookers mewabah pasca-keberhasilan pendukung Bibit dan Chandra. Namun, gerakan-gerakan itu tak pernah terdengar gaungnya, mati sebelum berkembang dan tiada aktivis mereka yang turun ke jalan berhadap-hadapan dengan polisi yang memegang pentungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun