Mohon tunggu...
Albert Tarigan
Albert Tarigan Mohon Tunggu... -

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Revolusi Twitter?

2 Februari 2011   06:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kalau kita lihat ancaman, ancaman itu ada berbagai macam. Satu, ancaman itu ada ancaman militer, ada juga ancaman non militer. Sekarang itu, kalau di kita, ancaman non militer itu justru lebih besar, di antaranya Twitter, Cyber Crime dan lain sebagainya itu, ada pandemi ada macem-macem. Ancaman non militer itu macem-macem sekarang. “

“Yang kedua, ancaman nonmiliter itu yang melakukan tidak negara, kadang-kadang bukan negara yang melakukan; perseorangan bisa, organisasi bisa. Ketiga, itu aktornya itu –ini ada militer dan nonmiliter- yaitu tidak dari organisasi dan bisa dari dalam enggak hanya dari luar. Kalau dulu di jaman perang dingin, orang kan persepsinya bisa dari negara, dari luar dan bentuk ofensif militer. Sekarang udah macem-macem, gitu lho.”

“Bisa dari dalem, bisa bukan militer, lewat tadi, bisa juga itu dilakukan oleh organisasi. Nah, ini harus kita waspadai. Nah, porsi kita yang di dalam undang-undang nomor 3 tahun 2002, porsi kita tu hanya kalau terjadi ancaman militer untuk mempertahankan Negara Kesatun Republik Indonesia, untuk mempertahankan kedaulatan dan kalau mempertahankan kedaulatan bangsa. “

“Nah kalau pandemi, misalkan ya ancaman berupa menyebarkan virus kesehatan, mestinya ya penjurunya ya Kementerian Kesehatan. Terus kalau misalkan dalam kaitannya dengan informasi dan komunikasi, nah penjurunya kan sudah ada masing-masing. Enggak bisa semuanya penjurunya itu Menteri Pertahanan. Kalau ada kaitannya dengan komponen utama, TNI, penjurunya (Menteri Pertahanan). Nah, gitu jadi mesti lihat ancaman itu sudah melebar, satu, dan kedua kalau ancaman itu terjadi ancamannya berupa apa dulu. Kalau ancamannya misalken dalam bentuk pencurian, illegal BBM, illegal logging, nah itu Angkatan Laut kita. Tetapi kalau ancamannya Twitter, cyber crime dan lain sebagainya itu ada porsinya sendiri.”

Kritik tajam terhadap Purnomo yang sedang kita bicarakan ini sebenarnya ciri khas informasi yang disampaikan melalui Twitter: cepat, ringkas, dan langsung bisa ditanggapi para pengguna seketika itu juga. Beberapa media besar terkadang bahkan menyampaikan judul berita terlebih dahulu melalui Twitter baru kemudian menyajikan berita seutuhnya sesaat kemudian. Twitter, seperti halnya internet, mengatasi persoalan ruang dan waktu yang menghambat media konvensional dengan jangkauan pembaca yang lebih luas.

Namun, bisakah Twitter , Facebook dan media sosial sejenisnya menjadi pemimpin perlawanan terhadap seorang penguasa, sebagaimana disebut-sebut sedang terjadi di Tunisia dan Mesir? Karena jika demikian, penjelasan Purnomo tampak jadi lebih relevan, minimal bagi penguasa, Twitter memang ancaman nonmiliter.

JIKA pertanyaan ini ditanyakan kepada Malcolm Gladwell, jurnalis majalah The New Yorker, dia akan menjawab tegas. Tidak!

Gladwell percaya, Twitter Facebook serta sosial media lainnya, berhasil membalik hubungan antara penguasa dengan rakyat, membuat mereka yang tak berkuasa lebih mudah bekerjasama, berkoordinasi, dan bersuara terhadap hal-hal yang menjadi perhatian mereka. Saat puluhan ribu demonstran turun ke jalan di Moldova pada musim semi tahun 2009 untuk memprotes pemerintahan komunis di negara itu, aksi tersebut dijuluki Revolusi Twitter karena sarana yang menyatukan para demonstran. Jadi, kalau dulu aktivis didefenisikan oleh penyebabnya, sekarang ditentukan oleh alatnya.

Gladwell menganggap klaim Revolusi Twitter ini membingungkan karena faktanya pengguna Twitter di Moldova sangat sedikit. Argumen Gladwell sangat menarik dan provokatif. Dia membedakan antara aktivis sebenarnya atau aktivis tradisional dengan aktivis media sosial. Aktivis tradisional memiliki ikatan kuat dan struktur organisasi yang jelas. Sementara, aktivis di sosial media memiliki ikatan lemah, tidak memiliki struktur sehingga sulit untuk memutuskan sesuatu yang bisa diterima dan dilaksanakan semua orang di dalamnya.

Gladwell mengambil gerakan antirasial yang meluas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an sebagai. Gerakan itu dimulai dari aksi duduk 4 pelajar kulit hitam di sebuah rumah makan Woolworth di pusat kota Greensboro, North Carolina. Aksi duduk itu sebagai protes mereka terhadap rasialisme dimana orang kulit hitam tidak dilayani di tempat-tempat umum untuk kulit putih. Gladwell mengatakan, aksi ini berisiko, karena pada hari-hari berikutnya, beberapa aktivis dibunuh, diculik, diipukuli, dibom dan dipenjarakan. Gerakan seperti ini, Gladwell menyindir, bukanlah untuk orang yang berhati lemah.

Menyangkut para aktivis di media sosial, Gladwell menguraikan, jenis aktivisme yang terkait dengan media sosial bukan seperti itu sama sekali. Platform sosial media dibangun di ikatan yang lemah. Twitter adalah salah satu cara untuk mengikuti atau diikuti (following or being followed by) orang yang mungkin tidak pernah anda temui. Facebook adalah alat untuk mengelola secara efisien kenalan anda, menjaga orang yang sebaliknya tidak akan pernah anda mampu untuk selalu berhubungan dengannya. Itulah sebabnya anda bisa memiliki ribuan “teman” di Facebook, sesuatu yang tidak pernah anda dapat miliki dalam kehidupan nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun