Di Indonesia wajib pajak diberi keleluasaan penuh untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Hal ini disebabkan adanya penerapan sistem self assessment dalam undang-undang perpajakan Indonesia. Penerapan sistem self assessment seakan memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar. Perusahaan yang merupakan Wajib Pajak tentu saja ingin menekan biaya-biaya perusahaan termasuk didalamnya beban pajak. Perusahaan dapat menggunakan dua cara dalam memperkecil jumlah pajak yang harus dibayar.
Dengan sistem self assesment sistem yang berlaku di indonesia, para pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya melakukan tax incidence. Hal ini merujuk pada distribusi akhir beban pajak, dilihat dari sudut pandang ekonomi, dengan adanya pajak dapat menyebabkan harga relatif berubah, dan perubahan pajak dapat mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga wajib pajak. Wajib Pajak mungkin merasakan dampak pajak pada sisi sumber atau sisi penggunaan dari persamaan pendapatan.
Pada sisi sumber, rumah tangga wajib pajak menderita jika laba atau upah bersih yg diterimanya turun, pada sisi penggunaan, suatu rumah tangga menderita jika harga barang2 yg dibelinya naik, jika penghasilan kita tetap sama,tp harga barang yg kita beli naik 2 kali lipat, kita berada pada posisi yang sama dengan jika penghasilan kita dipotong 50% dan harga tidak berubah..
Pendeknya,, pengenaan pajak atau perubahan pajak bisa mengubah prilaku. perubahan prilaku bisa mempengaruhi penawaran dan permintaan di pasar dan menyebabkan harga berubah. Ketika harga berubah dalam pasar input atau output, beberapa rumah tangga dibuat lebih beruntung, dan beberapa merugi.
Dapat dikatakan setiap kebijakan yang diambil berpengaruh bagi perusahaan itw sendiri dan masyarakat pada umumnya
perubahan akhir ini yg menentukan beban pajak itu.
Bagaimana  Hubungan  Tax Incidence terhadap  Tax Avoidance ?
Dalam menavigasi hubungan antara insiden dan penghindaran pajak perusahaan, kami mendeskripsikan perusahaan hipotetis yang menghasilkan laba kena pajak dengan menginvestasikan modal (misalnya, membeli robot) dan mempekerjakan tenaga kerja (misalnya, mempekerjakan pekerja). Selain memilih campuran modal dan tenaga kerja, perusahaan juga memilih untuk terlibat dalam sejumlah penghindaran pajak yang mahal. Pilihan ini dibuat sedemikian rupa keuntungan dimaksimalkan. Kami secara teoritis menunjukkan bahwa hubungan antara penghindaran pajak dan kejadian pajak adalah ambigu.
Di bawah asumsi realistis, jika pajak perusahaan meningkat, perusahaan berinvestasi lebih sedikit dan permintaan tenaga kerja lebih sedikit, dan akibatnya, tingkat upah di pasar tenaga kerja akan menurun, menunjukkan bahwa setidaknya sebagian dari pajak perusahaan ditanggung oleh karyawan. Penurunan upah ini lebih besar (lebih kecil) jika pasokan tenaga kerja karyawan kurang (lebih) elastis karena karyawan meminta upah yang lebih rendah (lebih tinggi) saat bersaing untuk mendapatkan kesempatan kerja yang berkurang. Semua distorsi ini, ceteris paribus, pasti akan mengurangi output perusahaan dan menyebabkan laba sebelum pajak menyusut. Karena laba sebelum pajak lebih rendah, semuanya sama, manfaat marjinal dari penghindaran pajak menurun, dan dengan demikian perusahaan mungkin kurang cenderung menghindari pajak.
Namun demikian, distorsi pajak juga dapat mendorong perusahaan untuk mengubah campuran modal dan pajak. investasi tenaga kerja sedemikian rupa sehingga campurannya cenderung ke arah modal, khususnya, ketika upah tinggi. Pergeseran ke arah modal ini, bagaimanapun, dapat mengurangi pengurangan pajak yang tersedia bagi perusahaan karena biaya modal (yaitu, biaya pendanaan dan depresiasi) biasanya memiliki pengurangan pajak yang lebih terbatas daripada tenaga kerja. Oleh karena itu, jika peralihan ke modal memerlukan pengurangan pajak yang lebih sedikit, maka lebih sedikit output yang dilindungi dari perpajakan, dan keuntungan marjinal dari penghindaran pajak meningkat. Dengan demikian, perusahaan mungkin lebih cenderung menghindari pajak.
Kesimpulan :Â