Mohon tunggu...
Albert Jehoshua R
Albert Jehoshua R Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Student of Public Policy

Currently as student of public policy, jazz enthusiast, and a part-time traveller.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemuda, Identitas, dan Persatuan

25 Juli 2018   09:00 Diperbarui: 25 Juli 2018   09:07 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

  •  "Sebuah masyarakat kehilangan identitasnya apabila generasi berikut tidak lagi mengenali diri kembali dalam tradisi hakiki masyarakat itu."
  • -- Jurgen Habermas

Malam itu suasana haru dan kobaran semangat persatuan dalam dada para pemuda makin memuncak ditengah situasi genting Jakarta yang tak kunjung meredup. Seakan citra diri sebagai putera daerah mereka singkirkan sejenak, berganti jati diri sebagai pemuda-pemudi Indonesia atas nama persatuan. 

Minggu, 28 Oktober 1928. Malam itu, bertempat di Gedung Klup Indonesia (Indonesische Clubgebouw) tengah berlangsung sidang ketiga-dan terakhir dari rangkaian tiga sidang utama Kongres Pemuda II ini ditutup oleh rangkaian kegiatan kepanduan (padvindderij) berlandaskan persatuan dan rasa cinta tanah air. 

Adalah tiga negarawan, dua muda dan satu senior yang mengawali kegiatan penutupan itu. Ramelan, seorang Muslim dari kepanduan Sarekat Islam, Theo Pangemanan seorang Kristen dari kepanduan Nasional, dan Mr. Soenarjo sebagai ketua Persaudaraan Antara Pandoe Indonesia sekaligus mewakili tokoh senior mengawali dengan pidato yang membentuk formasi persatuan. Ketiganya menyuarakan satu pesan yang sama: Perbedaan kultural dan agama tidak dapat menghalangi semangat persatuan. 

Beragam retorika persatuan atas nama satu kesatuan bangsa mulai merasuki jiwa dan pikiran tujuh ratus lima puluh peserta sidang yang tidak hanya dihadiri pemuda Bumiputera, namun juga pemuda-pemudi keturunan Belanda dan Tionghoa. 

Mengakhiri pidato, seorang wartawan muda Kristen, Wage Rudolf Supratman berduet dengan seorang Muslimah, Dolly Salim (Putri Haji Agoes Salim) memainkan lagu berjudul "Indonesia Raja" tiga stanza untuk pertama kalinya. Alunan dawai yang melagu bebarengan suara piano mengiringi tetesan air mata seisi ruang sidang. Secara tak sadar, para pemuda ini baru saja menang atas rasionalitas primordialnya (diri sendiri). 

Menapak tilas kejadian malam itu tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Memperluas alam pikir, ditengah berbagai fundamentalisme dan aspek-aspek primordial partikular yang mengiringinya bukanlah perkara mudah, mengingat inilah naluri alamiah manusia sebagai makhluk yang menemukan dirinya dan hidup berlandaskan nila-nilai dalam komunitas.  Meminjam istilah Sartre, para pemuda ini telah melewati fase pencarian eksistensi identitas bangsa secara transendental. 

Mereka berhasil menyeberangi nilai subjektivitas dirinya dengan berbagai kepentingan didalamnya menuju kesadaran bahwa terdapat kepentingan-kepentingan lain diluar dirinya yang wajib dihormati secara universal untuk menemukan jati dirinya. Mereka baru saja menemukan itu! Dinding-dinding pemecah belah berupa suku, bahasa, ideologi, agama, dan kepentingan lainnya mulai runtuh.  

Jati diri mereka adalah sebagai pemuda-pemudi Indonesia yang diberkahi diversitas dalam kehidupan kesehariannya. Semula, munculnya berbagai organisasi kedaerahan seperti: Jong-Java, Jong-Batak, Jong-Sumatrenan Bond, dsb menandakan kentalnya semangat etnik kedaerahan, namun kemudian segera mengalami transformasi---melalui penyebrangan transendental menjadi persatuan berlandaskan pemahaman civic nation  hingga berujung pada penemuan identitas nasional sebagai suatu kesatuan bangsa (nation state). 

Sidang ini dicatat dalam sejarah menghasilkan konsensus berupa Sumpah Pemuda yang mengikrarkan janji untuk bertumpah darah, berbangsa, serta berbahasa Indonesia. 

Tujuh belas tahun kemudian, tepatnya tanggal 11 Juli 1945 kejadian serupa kembali muncul saat Ki Bagoes Hadikoesoemo mengajukan Islam sebagai dasar negara Indonesia (Berlandaskan kerakyatan, keadilan, musyawarah, dan kebebasan beragama) yang kemudian mendapat pertentangan dari Mr. Soepomo dan Mr. Laturharary melalui interupsi sidang kala itu. Mr. Soepomo, yang sebelumnya sempat mengusulkan model negara integralistik a la Adam Muller mengkhawatirkan timbulnya soal-soal 'minderheden' antar golongan agama di negeri ini sehingga membuat gap antar kelompok-kelompok tersebut dengan negara. 

Selaras dengan pemikiran Soepomo, Mr. Laturharary, mewakili suara kelompok agama minoritas kemudian menganjurkan adanya penekanan pada pembukaan undang-undang dasar untuk menghindari kecemburuan kelompok minoritas. 

Lagi-lagi, self-incurred tutelage para tokoh bangsa ini kembali diuji. Hanya ada dua pilihan, bersikap rasional atau bersikukuh terhadap hasrat pribadi. Empat hari berselang, Ki Bagoes Hadikoesoemo kembali meminta kesempatan berbicara di tengah sidang, namun kali ini berbeda. 

Alih-alih mempertegas, beliau menarik kalimatnya dan mengusulkan kalimat "Ketuhanan, degan melakukan kewajiban menjalankan syariat Islam" untuk dihilangkan dari naskah Piagam Jakarta, disusul dengan penggantian Pasal 6A Ayat (1) menjadi "Presiden ialah orang Indonesia Asli, tidak ada tambahan kata-kata 'beragama Islam'". Kedewasaan (maturity) para tokoh bangsa ditengah perjuangan meraih kemerdekaan telah benar-benar teruji. 

Mereka berhasil menanggalkan apa yang disebut Immanuel Kant sebagai "self-incurred immaturiy" berupa sikap-sikap kedaerahan dan rasionalitas yang sempit. Kisah historis ini seyogyanya kita jadika refleksi kehidupan berbangsa dewasa ini. 

Rasa persatuan atas nama kesatuan bangsa dibawah bendera Merah Putih kerap kali terguncang oleh berbagai kepentingan tertentu. Tentu tujuh ratus lima puluh pemuda-pemudi dan para tokoh pejuang kemerdekaan itu tidak ingin perjuangan mereka mencapai konsensus persatuan larut dalam kepentingan fundamental tertentu.

Secara spesifik, generasi muda memiliki peran esensial dalam berbangsa sebagai kekuatan muda dengan energi, kreativitas, serta semangat yang masih terisi penuh. Jika generasi lupa akan identitas pemuda-pemudi bangsa pendahulunya, ataupun ingat namun larut dalam kepentingan masing-masing, bagaimana nasib kesatuan yang susah payah diperjuangkan itu di masa depan? 

Kini 74 tahun telah berlalu sejak proklamasi kemerdekaan pertama kali digaungkan oleh Ir. Soekarno. Pertanyaannya, meminjam konsepsi Karl Jaspers, apakah selama ini kita menjalani kemerdekaan dalam arti hidup (to live) ataukah ada (to exist)? 

Merdeka secara total tidak dapat dicapai jika salah satu elemen itu tidak ada. Kemerdekaan seringkali hanya dipandang sebagai "kebebasan dari penjajah", dan disaat kegiatan bernegara berlangsung tanpa intervensi serta gangguan penjajah secara riil, ternyata kemerdekaan itu hanya dirasakan oleh kelompok tertentu saja. 

Eksistensi kelompok-kelompok lain seakan tak digubris, dan tak diharapkan untuk ada. Sah-sah saja apabila mengatakan memudarnya gelora persatuan, yang dahulu berhasil mengantarkan bangsa ini meraih kemerdekaan akibat adanya krisis identitas. Seakan identitas sebagai suatu kesatuan bangsa dibawah bendera merah putih mulai hilang hingga akhirnya dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk menggapai hasrat dan ambisi mereka. Kita terlalu nyaman dengan kemerdekaan, hingga lupa akan persatuan. 

Beberapa hari lagi peringatan kemerdekaan Indonesia secara yuridis kembali akan diperingati untuk ke-74 kalinya. Sebagaimana para pemuda ikut andil dalam menggapai kemerdekaan di masa lalu, pemuda masa kini juga harus turut berkontribusi bagi bangsa. Hanya dengan merefleksi perjuangan para pemuda kala itu dan membuka alam pikiran terhadap wawasan nusantara kita dapat melanjutkan perjuangan mereka, menjaga keutuhan segenap elemen dan mengisi kemerdekaan bangsa ini.

Indonesia bukanlah soal aku, kamu, ataupun dia, melainkan kita. Seperti kata Lincoln saat pidato pencalonan dirinya sebagai senator Amerika, "A house divided against itself, cannot stand." Ayo, para  pemuda, kobarkan kembali api persatuan yang pernah membuat negeri ini merdeka!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun