Mohon tunggu...
Tony albi
Tony albi Mohon Tunggu... Freelancer - berniat baik dan lakukan saja

tulis aja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ibu Kota Baru dan Kementerian (Rasa) Nusantara

30 Juli 2019   20:52 Diperbarui: 30 Juli 2019   21:08 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keseriusan pindahnya ibu kota negara di era pemerintahan Presiden Joko Widodo telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan Visi Indonesia 2045.

Kota pelabuhan bernama Sunda Kelapa setelah penaklukan oleh Pangeran Fatahillah, berganti nama menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527, yang dikenal sebagai hari lahirnya kota Jakarta. Kedatangan Belanda dan membuat persekutuan dagang/ Vereenigde Oostindische Compagnie ( VOC ) di tahun 1602, dan menjadikan kota itu sebagai pusat administrasinya, pada tahun 1619 kota ini dinamakan Batavia oleh Belanda. Era perang dunia kedua pada tahun 1942 oleh Jepang, kembali bernama Jakarta hingga sekarang.

Baru di tahun 1964 Jakarta ditetapkan sebagai DKI ( Daerah Khusus Ibukota ) sebagai daerah tingkat satu ( UU no 10 tahun 1964 ) yang dipimpin oleh gubernur oleh Presiden Soekarno. Sejak itulah pertumbuhan penduduk kota Jakarta semakin pesat karena menggabungkan pusat pemerintahan dan pusat bisnis.

Laju pertumbuhan penduduk Jakarta tidak sejalan dengan pembangunan infrastruktur penunjangnya apalagi sarana tranportasi massa yang berbasis rel, kota satelitnyapun terasa agak terlambat mewujudkannya, menjadikan kota ini semakin semrawut, macet dengan tingkat polusi yang tinggi.

Jakarta adalah dataran rendah dengan ketinggan wilayah hanya 9 mdpl, ditambah banyaknya sungai yang melintasinya. Jakarta termasuk kota berpenduduk terpadat 10.117.924 jiwa, dengan 15.663 jiwa/kilometer persegi di tahun 2015 ( BPS DKI Jakarta). Jumlah penduduk berbanding lurus dengan tingginya kebutuhan hunian membuat berkurangnya lahan terbuka hijau.

Jakarta adalah dataran rendah dengan ketinggan wilayah hanya 9 mdpl, ditambah banyaknya sungai yang melintasinya. Pengelolaan tata ruang yang sembrono, alih fungsi lahan jadi perumahan, serta pesatnya pembangunan di daerah tangkapan airnya seperti puncak Bogor masa lalu membuat Jakarta menjadi kota langganan banjir air, baik dimusim hujan atau air laut pasang karena penurunan permukaaan tanah Jakarta.

Wajar kiranya jika ibu kota negara dipindah mengingat beban Jakarta yang semakin kompleks, padatnya penduduk, infrastruktur yang kurang, kemacetan, polusi dan banjir menjadikan kota ini relatif tidak layak lagi sebagai ibu kota negara.

Kota Baru                                                                                  

Penjelasan Prof Bambang Brodjonegoro sebagai Menteri PPN/kepala Bappenas dalam blak-blakan detik.com (15/5/19 ), Ibu kota negara nantinya adalah membangun sebuah kota baru dekat dengan kota yang sudah fungsional dalam arti punya infrastruktur dasarnya. Dengan memperhatikan kota baru yang akan dibangun sebagai kota yang ideal dari segi perencanaan secara menyeluruh, fokus sebagai kota yang green, smart and beautiful.

Membayangkan, sebagai kota green ialah kota "sehat" bagi penduduknya dan ramah lingkungan, kota yang tidak polutif, sarana tranportasinya meminimalisir pengunaan kendaraan bermotor, lebih berbasis rel seperti LRT ( Light Rail Transit ), banyaknya pedestrian dan jalur sepeda menjadi hal biasa nantinya terlihat di ibu kota negara. Meskipun tidak seideal Masdar City sedang dibangun di UAE yang diimpikan sebagai kota bebas emisi pertama di dunia.

Kebutuhan energinya pun lebih berbasis energi terbarukan, misalnya penggunaan panel surya ( solar cell ) dan minim penggunaan listrik energi fosil ( green energy). Pengolahan air dan limbah cerdas ( green waste) dalam arti lebih "hygienis", minimal seperti kota-kota di Eropa, yang standar kualitas airnya layak konsumsi.

Itu dapat terwujud dengan acuan awalnya green planning and design serta green open space. Semua itu dapat terlaksana bila masyarakatnya sadar lingkungan ( green community ), adanya pemilahan sampah sejak dari rumah tangga dan pengolahan sampah menjadi energi.

Sejatinya tidak ada format baku untuk kota ideal, nantinya ibu kota negara bukan hanya sekumpulan hutan beton semata, minimal menjadi model dari sebuah kota yang sehat, ramah lingkungan dan asri, seperti nama pameran tentang kehidupan di kota metropolitan pertama di dunia, Shangai expo 2010, " better city, better life".

Pusat pemerintahan bukan Kementerian

Berkaca pada Jakarta, ibu kota negara hendaknya hanya sebagai pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan tidak berarti pusat kementerian apalagi pusat bisnis. Saat ini pemerintahan tidak lagi sentralistik, adanya otonomi daerah, diharapkan pembangunan lebih merata dan terasa di daerah bahkan dengan UU desa, pembangunan lebih difokuskan memberdayakan ekonomi desa.  

Ibu kota negara adalah pusat pemerintahan, adalah tempat kedudukan legislatif, eksekutif, yudikatif, kedutaaan negara sahabat, Polri dan TNI. Setidaknya kementerian yang berada di ibukota negara adalah : Kemenlu, Kemendagri, Kemenhan, seluruh Kemenko, Kemenkeu, BI, BIN dan Kementrian lain atau lembaga tidak lagi berada di ibu kota negara.

Pertanyaaannya, bagaimana Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat langsung berkoordinasi dengan menteri-menteri terkait ?, saat ini Teknologi Informasi dan Komunikasi ( TIK ) telah mampu menjawabnya. Dan dengan adanya menteri koordinator di ibu kota negara, tidak perlu lagi adanya banyak kantor kementerian dan lembaga di ibu kota.

Sebaiknya kementrian terkait ditempatkan pada daerah yang menjadi think tank dari bidang kementerian tersebut atau daerah pokok, agar kementerian tersebut semakin dekat melihat masalah dan memberi solusinya ( problem solving ). Misalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di tempatkan di Yogyakarta, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) adanya di Kalimantan atau Sumatera yang daerah tersebut sangat perlu perhatian lebih dari Kementeriannya. 

Kemenpar di Bali atau NTB dan begitu juga dengan Kementerian lainnya. Letak Kementerian yang menyebar merata di seluruh wilayah Indonesia menjadi terasa lebih nusantara, juga sesuai dengan tujuh agenda pembangunan RPJMN 2020-2024 dari Bappenas.

Kementerian terkait yang ditempatkan di daerah memberi multiplier effect pada daerah tersebut, reformasi birokrasi yang masih " setengah hati" harus dipaksa jalan hingga ke daerah, penempatan dan terstandarisasinya profesionalitas ASN dan mobilisasi masyarakat terhadap jasa Kementerian.

Berkitan dengan kebijakan mengoptimalkan 24 kota otonom di luar jawa dan pembangunan lima pusat kegiatan nasional ( PKN ) dan 10 kawasan ekonomi khusus ( KEK ), dengan tersebarnya kantor kementerian dan lembaga bisa menjadi stimulus dan katalisator dari rencana tersebut.

Jumlah kementrian yang gemuk adalah konsekuensi dari koalisi politik multi partai. Diperlukan regulasi yang komprehensif apalagi berkaitan dengan perijinan guna mensinergikan antar kementerian dan menghilangkan ego sektoral yang selama ini menjadi penghambat kinerja juga investasi, diharapkan ada langkah sinkron yang harmoni antara pemerintah pusat dan dearah dalam mempercepat laju investasi guna menggerakan roda ekonomi secara merata di seluruh wilayah nusantara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun