"Saudara-saudaraku para pejuang tanah air, hari ini Laut Jawa bergejolak, dan gunung-gunung berucap selamat agar kalian pulang membawa kemenangan! Belajarlah dari Pati Unus, raganya telah musnah, namun jiwanya masih hidup di dada para pahlawan negara dan agama."
Beliau bahkan mengutip firman Allah:
"Jangan kalian menyangka bahwa mereka yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka tetap hidup dan di sisi-Nya senantiasa mendapat curahan rahmat tanpa henti."
Kata-kata itu menjadi bara yang menyulut keberanian para prajurit. Mereka sadar, perjuangan ini bukan sekadar perlawanan fisik, melainkan jihad mempertahankan marwah negeri dan agama.
3. Pulau Tidung: Benteng Tersembunyi di Kepulauan Seribu
Sunan Gunung Jati bukan hanya seorang pemimpin yang berani, tetapi juga seorang ahli strategi yang cermat. Ia memahami pentingnya memiliki tempat berlindung yang strategis, terutama dalam menghadapi armada perang Portugis yang memiliki persenjataan lebih canggih.
Untuk menghadapi Francisco de Sa, Sunan Gunung Jati mengingatkan para pemimpin prajurit untuk berhati-hati dan belajar dari strategi perang musuh. Beliau memang sangat hati-hati, bahkan rendah hati---bahkan kepada musuhnya sekalipun, beliau tetap belajar.
Itulah sebabnya di Selat Sunda beliau berhasil membangun benteng kokoh dengan pasukan khusus dari Demak.
Singkatnya, beliau pun mendelegasikan prajuritnya untuk bersembunyi di pulau-pulau sekitar Teluk Jakarta. Salah satunya adalah Pulau Tidung.
Nama "Tidung" sendiri konon berasal dari kata berlindung, merujuk pada fungsi pulau ini sebagai tempat persembunyian pasukan Demak dan Banten kala itu.
Benteng yang dibangun di sana bukan sekadar perlindungan, tetapi juga pusat intelijen gerilya maritim. Dengan kapal pelang yang disamarkan, mereka mampu menyergap musuh dengan taktik kejutan.
Portugis, yang selama ini unggul di laut, dibuat kelabakan. Bahkan sering menukan kebuntuan strategi perang.