Fenomena belakangan kala media informasi menjadi arus dan membanjiri manusia. Satu sisi baik, di banyak sisi petaka.
Per hari ini saya melihat tagar trending di salah satu media sosial kiranya terkait Bea Cukai Hedon. Saya tidak penasaran sedikitpun untuk mencari tahu.
Tulisan sederhana kali ini terpicu membahas sedikit filsafat. Â Dan mencoba melihat sisi lain bahwa hedonis dan pragmatis adalah fenomena hari ini.
Kala mata tertuju pada kemewahan, sikap pragmatis bahkan politik pragmatis. Sejenak kita coba renungkan satu falsafah kuno.
Mari kita coba lihat abad lalu bahkan beberapa abad lalu tentang lawan hidup pragmatis ala filsof Plato. Kehidupan sederhan yang cukup mencintai bahkan "kenyang" pada ide.
Kenapa Plato?
Alasan sederhanya. Plato salah satu filsuf kuno. Dia memiliki sikap anti pragmatis.
Saya katakan demikian karena menilik tulisan Bung Hatta "Alam Pikir Yunani". Di sana diceritakan betapa etika kehidupan Plato itu jauh dari dunia hedonis dan berfokus pada dunia ide.
Dunia ide dapat kita tafsirkan dengan dunia ilmu pengetahuan. Bahkan dunia kebijaksanaan.
Dunia yang mahal bahkan tidak pernah menyakiti atau membunuh manusia karena merasa memiliki kekayaan. Itu kekayaan fana yang mencelakakan diri.
Itulah sebabnya jika "menyembah" kekayaan. Lupa memberi asupan pada jiwa untuk mencintai kemuliaan pada ilmu. Yang menurut Plato adalah ide bermuara pada kemuliaan dan kehormatan tinggi.
Diri ditinggikan karena selalu mau menambah ilmu dan kebijaksanaan. Tanpa merasa paling tinggi apalagi merendahkan manusia lainnya.
Plato dalam bukunya "Phaedros, Gorgias, Theatet, Phaedon", memberi pesan: pelaksanaan etika didasarkan pada ide sebesar-besarnya dan menjauhi silaunya kehidupan fana dunia.
Kembali pada Ilmu dan kebermaknaan?
Sebuah pertanyaan mendasar untuk memilih. Tulisan ini tidak memaksa untuk mencintai ilmu sedemikian rupa.
Melainkan tulisan ini hanya sebuah ajakan. Analogi ajakannya sesederhana rakus membaca buku ketimbang menghabiskan kuota internet hanya untuk mantengin mereka-mereka yang *flexsing* alias pamer kekayaan.
Karena pengalaman saya pernah mencuri buku. Maka pencuri martabat bagi saya itu pencuri buku ketimbang mereka yang korupsi hanya untuk kehidupan hedonisnya.
Tentunya mencuri buku tidak dibenarkan semua orang. Cukup dan biar hanya saya saja yang "membenarkannya".
Kehidupan hedonis juga pilihan. Terkait jadi fenomena hari ini. Kembali ke naluri masing-masing. Memaknai dan memilih kehidupan seperti apa kedepan.
Untuk menutup goresan sederhana ini. Saya hanya ingin melempar pertanyaan tak kalah sederhananya.
Jika semua kian menjadi kefanaan, dan yang tersisa hanya kebijaksanaan dan dunia kebermaknaan. Maka masih kah kita akan terus kembali pada kefanaan?
Jawab masing-masing ya. Jika tidak juga tidak masalah.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H