Selalu sedih ketika mendengar kisah Abi yang sejak kecil ingin jadi penulis. Karena keterbatasan ekonomi di masa sulit dulu. Abi tak sempat bersekolah dan menikamti kuliah melainkan terpaksa harus menjadi buruh asing merantau ke negri jiran alias Malyasia di tahun-tahun krisis moneter kala itu tahun 90an ke atas.
Ditambah latar belakang anak yatim dimana kakek harus pergi ketika abi baru saja berusia 7 tahun. Abi kala itu hanya bisa mengumpulkan bacaan dari majalah bekas. Nenek tidak punya penghasilan lebih karena hanya guru shalat bagi masyarakat kampung.Â
Hari ini saya sebagai anaknya Abi diberi kemudahan sedikit untuk akses berbagai buku. Kuliah di kota pelajar sejak 2014 lalu hingga kini koleksi buku subahanallah banyak. Perpus banyak apalagi kampus saya. Referensinya kaya dan menulis apa saja jadi.Â
Alasan untuk tidak menulis bagi saya pribadi. Harusnya tidak ada. Untuk itu semoga menulis akan terus jadi jalan panjang bagi sebuah warisan.Â
Harta dan kekayaan bukannya akan habis juga sebagai warisan. Tapi tulisan sebagai warisan InsyaAllah akan abadi di peradaban.Â
Bahkan Pramudya Anantatoer berpesan, menulislah agar kelak orang-orang tau bahwa engkau pernah hidup. Lebih dari ungkapan Pram, saya selalu meyakini bahwa tulisan ada warisan kekayaan paling berharga untuk generasi mendatang siapapun dia yang bersentuhan dengan aksara lagi.Â
Selamat menulis untuk kawan-kawan yang juga ingin menulis dan hiduplah di peradaban. Dari saya salam aksara:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H