Rintiknya, beradu dan membasahi tubuh.. Dinginnya menembus sulbi tulang, dihangatkan oleh nostalgia sang kasihÂ
Sehabis hujan sudut kota itu raup oleh basahnya ingatanku .. Tentang dia yang pernah singgah, mendulang masa lalu.
bukankah rindu selalu bertengger di ingatan?.. Memutar kembali waktu-masa berprahara lalu yang kuat di pelukan.Â
Aksarapun menghitam sepekat tinta malam.. Merangkai kata nan semak lagi belukar bak dedaunan.Â
Mengutuk kisah seutas lalu adalah hal paling BODOH.. Bagi gaduhnya hati, biarkan saja jadi cerita dan beri tanda titik dengan kata SUDAH!
Pujangga kata kian merindu, beradu dan mencumbu pilu.. Lalu mengingat-ngingat falsafah pujangga  akan 'rumah rahim syahdu'.Â
Bisiknya rumah itu lorong dedaun rindu dan mengajari banyak hal akan arti.. Tentang kata rahim berarti pengharapan, dosa itu pasti namun kebaikan belum pasti, untuknya tetaplah ikhlaskan hati. Â
Sebelukar kata dan riuhnya peraduan.. Bagai pujangga merangkai kata, seindah itu pula doa dipanjatkan.
Merindulah, bercumbulah! Pada ingatan lorong-lorong prahara rasa.. Sebab syahdunya tak tergambarkan oleh ungkapan kata-kata.
Dedaun rindu adalah  ingatan tentang dia, memori dicumbu romansa.. Terkadang Sang Pujangga berutur, "Cinta selalu saja mencari arti walau tak menemukan artinya".Â
Akhirnya, pujangga dan doa bertutur di tinta, secarik kertas dan pena.. Bahwa menjadi manusia, harus selalu menengadah pada doa-doa pengharapan tak bertepi tanpa penghujung rasa.
Salam aksara:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H