Tidak sengaja menemukan tempat makan yang eksotik ini. Dalam sebuah perjalanan suci menuju ke barat. Â Dibawah hujan yang terus mengiringi kami bahkan sejak mobil yang kami tumpangi belum keluar dari garasi.
Selepas Klaten dan beberapa menit sebelum masuk kawasan prambanan, kami berniat untuk sekedar melepaskan penat dengan berhenti di Indomaret. Istirahat sebentar setelah melalui Tol Trans Jawa dari Pintu Tol Bandar sampai di Pintu Tol Kartasura kemudian menyusuri jalan nasional Solo-Jogja.
Ketika kendaraan menepi karena ada plang papan nama minimarket modern berwarna biru. Â Ada papan nama lain, kecil berwarna kuning dan ada kendaraan berhenti lebih menarik untuk disinggahi. Papan nama bertuliskan Warung Bakmi Jowo memang kami cari sejak para penumpang terbangun di Klaten kota.
Kuliner ini yang selalu menarik terutama si Bunda, yang kepengen mencicipi rasa bakmi jowo. Saya juga pengen sebenarnya, tapi karena sudah beberapa minggu menjalankan diet OCD untuk mengecilkan perut, tidak merasa membutuhkan makan malam.
Ketika turun dari mobil, saya punya pikiran jelek "wah bakalan mahal ini" he he he. Karena biasanya harga makanan di dekat tempat wisata diatas standar. Ketika kami masuk, sudah ada beberapa rombongan yang sudah makan duluan disitu. Warung makan sekaligus ruang tamu sebuah rumah dengan meja dan kursi kayu sebagai tempat makannya. Bahkan yang menarik ada dipan yang bisa dijadikan lesehan.
Ketika melihat menu makanan yang ada di dinding rumah, saya menyesal sudah berprasangka buruk. Ternyata harga makanannya hanya Rp 15.000,- an dan minumannya bervariasi antara Rp 3.000 sampai Rp 5.000,- saja.
Mbak yang jadi pelayan segera menghampiri kami, setelah sebelumnya mempersilakan untuk "pinarak". Dengan duduk, menawarkan kami makan apa. Sangat sabar, tidak seperti pelayan pada umumnya yang menulis pesanan sambil berdiri. Sangat ramah, memperlakukan para pembeli seperti saudara yang datang bertamu. Â Kami sangat terkesan dengan penyambutan ini.
Karena sejak awal sudah pengen merasakan Bakmi Jowo, ya itulah yang menjadi pesanan sebagian besar. Selain itu juga memesan nasi goreng. Saya terpaksa buka jendela diet malam itu, tergoda bakmi godok.
Ada hal lucu ketika Ibunya anak-anak memesan nasi goreng. "mbak nasi gorengnya setunggal nggih?"pesan istri.
Mbaknya menyahut "nasi gorengnya pedes nopo adem?".
"kok "adem" mbak, bukane panas?" jawab istri saya sambil keheranan. "mboten pedes mbak, tapi tetap baru dimasak tho?" lanjut istri saya.
"Lha nggih adem niku mboten pedes" jawab mbak-nya dengan senyum cenderung tertawa. Kami akhirnya tertawa bersama, pembeli lain yang kebetulan mendengar juga ikutan tersenyum. Ternyata ada perbedaan arti kata "adem" pada makanan antara Klaten dan Jombang.
Para koki di warung tersebut dengan "sigrak" segera memasak pesanan kami. Minuman diantar terlebih dahulu. Yang unik lagi, minuman yang dihidangkan menggunakan gula batu, bukan gula pasir seperti pada umumnya.
Kemudian menyusul mie godok dengan banyak kuah kaldu berwarna kuning, mie yang gepeng, potongan daging ayam kampung yang besar-besar, telur, dan irisan berbagai sayuran menambah selera makan makin menggebu. Semakin lupa kalau sedang diet. Ha ha ha.
Kuahnya terasa segar, daging ayam yang kelihatannya akan melawan ketika dikunyah, ternyata terasa smooth, landai tanpa perlawanan berarti. Mienya lembut walaupun masih kenyal, dimasak dengan cukup tepat.
Kata si nduk "ini mie terenak yang pernah saya makan" dan kami semua setuju dengan pendapatnya.
Nasi gorengnya pun juga menarik, warna yang pas, tidak terlalu banyak saos, tidak terlalu banyak kecap. Potongan daging ayamnya juga gede-gede. Si thole yang memesan nasi goreng juga ikut memuji "nasi gorenngnya enak, enak banget". Dan pendapat ini membuat si Bunda yang yang jadi bendahara rumah tangga kami, memesannya untuk dibungkus.
Bakmi dan nasi goreng yang dimasak secara tradisional ini, walaupun berada di Jawa Tengah yang masakannya cenderung manis. Di warung ini sangat pas dengan lidah kami yang jawatimuran.
Selasai menyantap makanan, kami tidak segera beranjak pergi, namun minta ijin untuk ke kamar kecil. Saat akan menuju kekamar kecil, saya melihat seorang perempuan sepuh yang sedang dikeroki di lincak, tidak jauh dari koki memasak. Saya amati, ternyata mirip dengan yang ada di foto, beliau ternyata Mbah Pujo. Walaupun sudah sepuh tetapi masih awas, bahkan mempersilahkan saya ketika saya melewatinya.
Karena sudah malam, dan hujan yang tidak berhenti jua, kami segera membayar dan pamit. Setelah kami beranjak, warung tampak sudah siap-siap untuk tutup, kami pembeli terakhir malam itu. saya melirik jam sudah menunjukkan 21.40 sudah malam.
Sepanjang sisa perjalanan yang tidak lebih dari 15 menit, isi obrolan di mobil membicarakan istimewanya warung tersebut. Warung yang kami mampir secara tidak sengaja. Warung yang istimewa. Dan membuat dompet saya tidak berkurang signifikan ketebalannya.
Karena warung ini kecil, bukan restoran besar dan papan penandanya tidak terlalu mencolok, ada baiknya menggunakan google map sejak awal. Karena kalau "keblabasen", puternya agak jauh.
Menyantap bakmi godog di Warung Mbah Pujo saat gerimis, menimbulkan kenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H