Bakmi dan nasi goreng yang dimasak secara tradisional ini, walaupun berada di Jawa Tengah yang masakannya cenderung manis. Di warung ini sangat pas dengan lidah kami yang jawatimuran.
Selasai menyantap makanan, kami tidak segera beranjak pergi, namun minta ijin untuk ke kamar kecil. Saat akan menuju kekamar kecil, saya melihat seorang perempuan sepuh yang sedang dikeroki di lincak, tidak jauh dari koki memasak. Saya amati, ternyata mirip dengan yang ada di foto, beliau ternyata Mbah Pujo. Walaupun sudah sepuh tetapi masih awas, bahkan mempersilahkan saya ketika saya melewatinya.
Karena sudah malam, dan hujan yang tidak berhenti jua, kami segera membayar dan pamit. Setelah kami beranjak, warung tampak sudah siap-siap untuk tutup, kami pembeli terakhir malam itu. saya melirik jam sudah menunjukkan 21.40 sudah malam.
Sepanjang sisa perjalanan yang tidak lebih dari 15 menit, isi obrolan di mobil membicarakan istimewanya warung tersebut. Warung yang kami mampir secara tidak sengaja. Warung yang istimewa. Dan membuat dompet saya tidak berkurang signifikan ketebalannya.
Karena warung ini kecil, bukan restoran besar dan papan penandanya tidak terlalu mencolok, ada baiknya menggunakan google map sejak awal. Karena kalau "keblabasen", puternya agak jauh.
Menyantap bakmi godog di Warung Mbah Pujo saat gerimis, menimbulkan kenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H