Mohon tunggu...
Nadzir Albanna
Nadzir Albanna Mohon Tunggu... -

Pemuda (hampir) ganteng.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Note Actually

21 Maret 2010   14:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:17 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ya. Ya.. Saya memang menculik judul ini dari hasil memplesetkan judul pelem Inggris itu. Tapi tak perlu diperpanjang soal ini, karena saya bukan pewaris ilmu (alm) Mak Erot yang mahir memanjang-manjangkan sesuatu.

Kali ini saya mau ngalor-ngidul sedikit tentang beberapa hal.

Kenapa hanya sedikit?

Ya, karena saya cuma tau sedikit. Tipe orang kan macem-macem. Ada orang yang tau banyak tentang banyak hal. Ada orang yang tau sedikit tentang banyak hal. Ada orang yang tau banyak tentang sedikit hal. Dan ada pula orang yang tau sedikit tentang sedikit hal. Saya tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi orang yang tau banyak sementara saat ini, di kondisi ini, di waktu ini, saya hanya tau sedikit. Mungkin selebihnya ada pada sampeyan...

*****

i7463_joshgroban.jpg

Romantisme

Suatu waktu makhluk Tuhan bernama perempuan berkata kepada saya, "Kamu romantis!"

Belok terang, saya ndak kaget. Ndak heran. Biasa saja. Malah semua apa yang dianggap romantis dari saya sebenernya belum ada apa-apanya...

"Udah mah mehe-mehe, belagu deui maneh mah Dzir!"

Maaf.

Romantisme saya bukan romantisme picisan ala remaja ababil yang cukup mabuk hanya dengan lirik-lirik lagu band pop jaman sekarang.

Maaf.

Mungkin kata-kata saya terdengar belagu, tapi apa yang harus saya katakan jika Tuhan menitipkan sedikit romantisme kepada laki-laki seperti saya. Sampeyan mau protes?

Tapi ndak usahlah protas-protes... Saya kasih tau sedikit rahasia. Ini cukup antara kita berdua saja ya.. Sampeyan kan kawan saya, jadi saya tidak ragu berbagi sedikit rahasia kepada kawan.

"Rahasia apa Dzir?"

Romantisme.

Kan tadi saya sudah bilang sebelumnya kalao romantisme yang ada dalam diri saya sebenernya ndak ada apa-apanya. Kalau dibandingkan dengan Guru yang ngajarin saya untuk menjadi romantis.

"Siapa guru kamu Dzir?"

TUHAN.

"Weish! Jangan ngawur kamu Dzir!"

Ndak.. saya ndak ngawur. Tuhan adalah Maha Guru. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Romantis.

Bagaimana mungkin saya tidak menyebut Tuhan sebagai Yang Maha Romantis sementara Dia menciptakan embun yang ramah, rembulan yang pemalu, hujan yang bernyanyi, bintang yang melukis kanvas langit, fajar yang hangat memeluk...

Bagaimana hal-hal yang indah itu bisa tercipta kalau bukan dari Yang Maha Romantis?

Bagaimana mungkin saya tidak menyebut Tuhan sebagai Yang Maha Romantis sementara dia menciptakan tangan dan jemari yang sedemikian rupa sehingga jari-jemariku menyatu erat disela-sela jemarinya, diciptakan mata yang menyimpan sejuta tanda tanya sehingga sorot mataku dan matanya saling bertanya dan berkata, "Aku percaya!"...

Ya. Tuhan Maha Romantis.

Kita adalah ciptaan. Kita adalah bukti romantismeNya.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.....

****

Adzan

Apakah Adzan itu menyeru untuk shalat atau memerintahkan untuk shalat?

Kalau ia menyeru shalat bagaimana ia menyeru?

Kalau ia memerintahkan shalat bagaimana ia memerintah?

****

Kewajiban Asasi

Ribuan organisasi pembela hak asasi manusia dibentuk. Adakah satu saja organisasi kewajiban asasi manusia?

Lebih penting mana, hak atau kewajiban?

Kalau hak lebih penting, maka hak siapa yang lebih penting, hak manusia atau hak Tuhan?

Kalau kewajiban lebih penting, maka kewajiban siapa yang belum tertunaikan, kewajiban manusia atau "kewajiban Tuhan"?

Kita sepertinya memang lebih mahir bicara tentang hak ketimbang kewajiban....

****

Keikhlasan.

Jangan artikan saya sudah mahir ilmu ikhlas lalu saya berani bicara soal keikhlasan. Tidak sehitam-putih itu logikanya. Saya masih belajar dan akan terus belajar menjadi ikhlas.

Ada 2 model analogi sederhana yang sering dikaitkan dengan keikhlasan. Saya tambahkan satu, kita buat jadi 3 model analogi. (yang namanya model, hanyalah abstraksi dari realitas, bukan realitas itu sendiri - red)

Pertama. Model buang air besar.

Ikhlas itu seperti buang air besar. Mau makan pitsa atau combro sekalipun pada akhirnya kita harus keluarkan bukan? Tapi saat kita keluarkan pitsa itu dalam bentuk kotoran, bentuknya kok ya sama-sama aja kayak kita makan combro. Dan kita pun ndak perlu protes, ngamuk-ngamuk sama penjual pitsa itu apalagi mengadukannya ke YLKI kenapa kotoran pitsa sama saja seperti kotoran combro. Kita plong saja saat kotoran itu kita buang.

Kedua. Model tukang parkir.

Iklhas itu seperti menjadi tukang parkir. Kita tidak memiliki. Kita dititipi mobil, motor untuk dijaga. Suatu saat sang pemilik mobil atau motor itu ngambil ya monggo. Toh kita cuma diamanahi untuk menjaga mobil milik si pemilik. Dan diakhir acara, si pemilik ngasih kita duit sebagai "upah" atas usaha kita menjaga si mobil.

Ketiga. Model tukang pinjem.

Misalkan saya mau apel malang ke rumah perempuan. Ndak ada motor nih. Lalu saya pinjem motor sampeyan. Apel saya sukses marukses. Meski saya harus melewati barisan anjing liar yang menggonggong cemburu kepada saya. Saya tarik selongsong gasnya dengan lembut, ndak ugal-ugalan di jalan. Saya parkirin motor pinjeman itu dengan lembut seperti layaknya motor sendiri. Saya parkirin di tempat yang semestinya biar maling mikir 1000x untuk macem-macem.

Giliran saya balikin tuh motor pinjeman.

Malu juga saya kalo cuma sekedar mbalikin tuh motor hanya dengan sekedar ucapan terimakasih. Ah, saya isiin bensinnya deh. Saya lap sang bodi motor yang tadi sempet keciprat genangan air.

Mbok ya udah dipinjemin, ya tau diri dikitlah si sayah...

Nah...

Dari 3 model analogi sederhana itu... kira-kira yang lebih asyik yang mana ya?

****

Ah, curiga kepanjangan notes hari ini.

Sudahlah.. saya tinggal makan dulu ya...

Saya pinjem motor sampeyan bentar ya....

Albanna 2.0.10.
If you thought it was just a trick of the mind, prepare yourself for the truth. (Deja Vu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun