Sebenarnya sejak buku ini belum terbit saya sudah membaca tulisan-tulisan Fahd Pahdepie di akun FB-nya. Ketika tulisan tadi dibukukan saya tambah antusias karena saya masih tergolong pencinta buku cetak dibandingkan versi online.
Buku ini menarik dan menyentuh. Dikemas dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami sehingga mudah dicerna oleh semua kalangan.
Benar kata Fahd bahwa haji itu undangan. Sebagaimana dalam prolog di judul "Empat Panggilan Haji' (hal. 9), Fahd melewatkan tiga kali kesempatan haji di usia yang sangat muda. Momen itu menandakan bahwa memang kuasa mengundang ada pada Allah.
Panggilan haji yang keempat ini saya rasa kemudian menjadi hadiah bukan hanya bagi Fahd tapi juga para pembaca karena dari sana akhirnya lahir buku yang mengandung banyak hikmah ini.
Di antara yang menarik juga ada di judul "Dilepas dengan Do'a" (hal. 21). Di sana ada cerita beberapa orang yang tertunda keberangkatannya padahal memiliki banyak sumber daya yang sangat cukup untuk berangkat. Dia memiliki koneksi dengan otoritas pembuat keputusan mulai dari kantor pemerintah propinsi, kemenag, bahkan kedutaan Arab Saudi.
Nyatanya hal itu bukanlah jaminan mulusnya keberangkatan.
Maka benar sekali lagi bahwa penyelenggara haji adalah pemerintah negara masing-masing, pengelolanya adalah raja Saudi, tapi yang memiliki rumah adalah Allah. Kalau tuan rumah belum berkenan memanggil maka pintu belum akan terbuka (hal 23).
Tulisan "Cinta Terpisah 36 Gerbang Masjid Nabawi" (hal.45) juga sangat menyentuh. Seorang istri berpisah dengan suaminya. Fahd mengatakan bahwa itu adalah cara Rasulullah agar ibu tersebut melihat Masjid Nabawi di banyak sudutnya.
"Rasulullah menang seromantis itu, terkadang mengajarkan cinta kepada para tamunya dengan cara yang tidak terduga" kata Fahd mengomentari kisah bagaimana seorang ibu dan suaminya berpisah (hal. 50).
Ada banyak judul tulisan yang membuat saya berlama-lama meresapi isinya. Dari semua itu tulisan "Sepertiga Malam Bersama Syaikh Haitsam" (hal.62) adalah yang paling lama saya baca.
Saya larut dalam isi tulisan. Membayangkan seolah saya sedang di Masjid Nabawi, bertamu pada tuan rumah Madinah, Rasulullah.
"Tidak ada satu pun orang yang diizinkan datang ke Madinah, kecuali atas izin Rasulullah. Beliau sendiri yang mengeluarkan visa kunjungan itu, dengan batas waktu tertentu, akses tertentu. Orang yang diizinkan datang ke rumah Rasulullah karena beliau berkenan menerima. Karena kedekatan masing-masing dengan Rasulullah. Bisa karena rasa rindunya, bisa karena Tindakan, perilaku, atau perjuangannya yang disukai Rasulullah." Kata Syaikh  Haitsam.
Dada saya bergemuruh membacanya. Air mata yang sejak tadi saya tahan akhirnya berhasil mengalahkan tuannya.
Ya Rabb, izinkan hamba bertamu ke rumah nabiMu.
Sampai bagian ini saya berhenti sejenak. Ada sudut hangat di mata saya. Bagian ini juga membuat saya optimis dan merapal do'a serta menguatkan tekad, memohon agar ada jalur undangan langit untuk memenuhinya.
Tahun 2017 saya sudah mendaftar haji reguler dengan masa tunggu 20 tahun. Jika haji adalah undangan saya berharap mendapat undangan itu, menerobos antrean yang masih menyisakan tiga belas tahun lagi.
Saran saya bacalah buku ini di kamar atau tempat pribadi. Jangan dibaca di tempat umum. Karena begitu banyak bagian di buku ini yang mengandung bawang.
Kalau dibaca di tempat umum takutnya orang akan bingung melihat ada orang yang sedang menyendiri dengan buku malah meneteskan air mata.
Bacalah di tempat tenang dengan penuh penghayatan. Jangan lupa siapkan tisu karena begitu banyak bagian yang membuat air mata menjebol pertahanannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H